Lampung

Musa Ahmad Bantah Berhutang Rp2 Miliar, Kuasa Hukum : Klien Kami Tak Bertanggungjawab untuk Mengembalikan

×

Musa Ahmad Bantah Berhutang Rp2 Miliar, Kuasa Hukum : Klien Kami Tak Bertanggungjawab untuk Mengembalikan

Sebarkan artikel ini
Bupati Lampung Tengah
Bupati Lampung Tengah, Musa Ahmad saat melakukan perekaman e-KTP di Disdukcapil setempat usai melaunching aplikasi Slamdung, - foto dok ist

LAMPUNG TENGAH – Kuasa hukum Bupati Lampung Tengah Musa Ahmad (MA), Sopian Sitepu memberi klarifikasi terkait tudingan Ketua NasDem Lampung Timur Yusran Amirullah (YA) menyebut kliennya berhutang hingga Rp2 miliar.

Menurut kuasa hukumnya, Sopian Sitepu, uang tersebut merupakan titipan dari pihak ketiga. Hal lain tandas dia, bahwa kliennya tidak pernah menerima uang secara fisik sebesar yang diadukan baik berupa pinjaman, titipan, atau hubungan bisnis.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

“Uang tersebut pun berasal dari pihak ketiga yang diberikan kepada MA sebagai bantuan biaya kampanye,”ungkap Sopian Sitepu, dilansir wawainews.id dari Lampung Post pada 11 Januari 2024.

BACA JUGA :  Ini Rincian, KUPA-PPAS Perubahan APBD Lamsel Tahun 2020

Dikatakan bahwa uang tersebut dari pihak ketiga yang diberikan kepada MA (kliennya) untuk pinjaman atau bantuan atau konsolidasi dan biaya kampanye politik. Tapi tegas dia, kwitansi dibuat atas nama YA.

Kemudian penandatanganan yang dilakukan dalam kwitansi tersebut hanya untuk membuktikan uang sudah ditemukan Tim MA, bukan sebagai utang.

Untuk itu dia menegaskan bahwa pihak MA sebagai kliennya, tidak bertanggung jawab untuk mengembalikan uang tersebut.

Selain itu, Sopian Sitepu juga berpendapat, berdasarkan pasal 78 ayat 3 KUH Perdata masa berlaku kwitansi itu sudah kadaluarsa.

Sebab kuitansi itu ditandatangani pada 2010 atau 13 tahun yang lalu.

“Sedangkan masa kadaluwarsa sesuai dengan Pasal 78 ayat 3 adalah selama 12 tahun,” jelasnya.

BACA JUGA :  TBS Kelapa Sawit di Lampung Sehari Bisa Turun 3 Kali

Ia mengingatkan YA agar tidak sembarangan menuduh dan menyebut identitas seseorang dalam penyebaran informasi.

Hal tersebut bisa dijerat dengan Pasal 67 ayat 2 jo. Pasal 65 ayat 1, dan Pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.***