Oleh: Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Berseliweran broadcast, seruan demontrasi melibatkan para Jenderal Purnawirawan. Isunya berkelindan antara kecurangan pemilu dan pemakzulan Presiden Jokowi.
Peredaran broadcast semakin massive menjelang tanggal 20 Maret 2024. Ketika hasil pemilu 2024 diumumkan hasilnya.
Bagaimana publik memaknai fenomena itu?. Ada tiga sudut pandang yang berkembang saat ini.
Pertama, memaknai “turun gunung”-nya para jenderal sebagai representasi kegentingan peristiwa. Bahwa benar terjadi kecurangan pemilu secara TSM (terstruktur, sistematis dan massive).
Betul bahwa muara “kesemrawutan” bangsa adalah elit kepemimpinan nasional. Oleh karena itu presiden Jokowi harus dimakzulkan.
Kehadiran sejumlah jenderal purnawirawan dianggap membersamai masyarakat yang sedang melewati keresahan itu. Sejumlah masyarakat yang sedang galau. Dengan turun jalan.
Masyarakat yang terjebak dalam keyakinan adanya kecurangan pemilu secaraTSM. Atau terjebak dalam sudut pandang bahwa satu-satunya solusi kebangsaan adalah pemakzulan presiden.
Kehadiran para purnawirawan jenderal menyingkirkan kemungkinan kecurangan pemilu dan pemakzulan itu sebagai ilusi. Cara pandang yang didominasi keinginan menggebu secara berlebih.
Jika dibanding dukungan kondisi untuk secara realistis mewujudkannya. Kehadiran purnawirawan jenderal itu menepis keraguan. Bahwa benar situasi bangsa sedang tidak baik-baik saja.
Kedua, memaknai kehadiran para purnawirawan jenderal sebagai “motor” aksi massa merupakan hal biasa. Lumrah. Bukan sesuatu yang istimewa. Mereka tidak lagi bersenjata.
Kini status mereka sama, sebagai masyarakat sipil. Memiliki hak yang sama untuk menyuarakan aspirasi politik.
Eksistensi mereka tidak mewakili institusi militer. Tidak sedang melakukan aksi militer lagi. Melainkan mewakili kesadaran kebangsaan yang diperjuangkan dengan cara non militer. Cara yang sama dengan masyarakat sipil lainnya.
Tidak ada yang Istimewa dari sudut isu dan teknis gerakan. Masyarakat menganggapnya sebagai biasa-biasa saja.
Pada momen pilpres 2024, diestimasikan para jenderal purnawirawan terdiaspora ke berbagai cepres. Porsi terbesar berlabuh kapada paslon no urut 02. Diperkirakan sebanyak 70%. Selebihnya terdiaspora kepada paslon lainnya.
Ketiga, memaknai sebagai pertanda terkendalinya situasi kebangsaan. Para prajurit TNI, termasuk purnawirawan jenderal diikat oleh idiologi yang sama. Saptamarga.
Maka sikap oposisionalnya tidak akan melebihi tanggung jawab idiologis itu. Keselamatan bangsa. Keselamatan NKRI dan Pancasila.
Diaspora para purnawirawan jenderal kedalam berbagai kelompok oposisi justru dinilai positif. Tidak akan ada ledakan kritisisme yang destruktif. Pada semua lini telah terpasang pengaman. Ialah para jenderal purnawirawan itu.
Mengacu pada tiga kemungkinan itu, justru kita dihadapkan pertanyaan baru. “Benarkah rakyat kita betul-betul anti dwifungsi ABRI yang sudah kita lucuti itu”?.
Faktanya politik para pensiunan jenderal masih berkelindan di setiap gerakan politik keebangsan kita. Termasuk pada barisan kaum kritis.
Jangan-jangan rakyat kita, termasuk kelompok kritis, memang rindu pada TNI. Untuk terus hadir di tengah-tengah rakyat. Termasuk dalam dinamika perpolitikan.
Satu kecenderungan menarik yang harus kita cermati bersama. Pada satu sisi anti dwifungsi ABRI. Di sisi lain saling berpelukan dalam pekerjaan politik. *
ARS (rohmanfth@gmail.com), 19-03-2024