Opini

Pilkada Jakarta 2024: Redupnya “Masyarakat Rasional”?

×

Pilkada Jakarta 2024: Redupnya “Masyarakat Rasional”?

Sebarkan artikel ini
ilustrasi Pilkada
ilustrasi Pilkada

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

WAWAINEWS.ID – “Masyarakat rasional”. Ialah kelompok sosial yang tindakan individu maupun kolektifnya, didasarkan pemikiran logis, kritis dan obyektif.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Tipologi masyarakat rasional mengedepankan logika. Secara konsisten menggunakan penalaran logis dalam pengambilan keputusan.

Masyarakat rasional juga bertipikal kritis. Pemikiran dan tindakannya didasarkan analisis mendalam terhadap informasi. Tidak mudah terpengaruh emosi dan prasangka.

Masyarakat rasional menjunjung tinggi obyektivitas. Keputusannya didasarkan fakta dan bukti empiris. Bukan didasarkan opini dan keyakinan tidak berdasar.

Ciri-ciri masyarakat rasional: berfikir kritis, mengutamakan fakta, toleran, transparan, independen, penyuka sains dan teknologi, partisipatif dan proaktif membuat kemajuan.

Masyarakat rasional sadar dan bertanggung jawab atas masa depannya. Baik masa depan pribadi maupun kolektif, sekala masyarakat.

Sedangkan masyarakat irasional: berfikir emosional, mengutamakan mitos, intoleran, otoriter, tidak independen, berdamai dengan ortodoksi. Eksistensinya mudah diintervensi atau di ombang-ambingkan keputusannya oleh eksternal.

BACA JUGA :  Sabar Anies

Apa kaitannya dengan Jakarta?

Terletak pada eksistensinya sebagai (masih) Ibukota. Megapolitan. Lokomotif pergerakan ekonomi bangsa besar.

Zona melting pot. Bertemunya para cerdas pandai. Profesional papan atas.

Sudah seharusnya masyarakat Jakarta bertipikal penyangga kota besar. Penyangga lokomotif peradaban besar.

Ialah masyarakat rasional. Penuh ambisi kemajuan. Haus pengetahuan. Anti atau tidak bersahabat dengan segala hal berbau ortodoksi. Anti kejumudan atau stagnasi. Apalagi fatalistis.

Lantas apa kaitan dengan pilkada 2024?

Ialah adanya sejumlah anomali dari eksistensinya sebagai masyarakat rasional. Anomali itu diindikasikan setidaknya tiga hal.

Pertama, partisipasi pemilih. Rendah. Warga Jakarta tidak menggunakan hak pilihnya hampir menyentuh 50%. Konon partisipasi terendah dalam sejarah pilkada Jakarta.

Pertanyaan besarnya: kenapa warga Jakarta se-apatis itu. Tidak memiliki gairah memutuskan dan mengendalikan masa depannya sendiri.

BACA JUGA :  Titiek Soeharto, Mafia Pangan dan Cundrik Mataram

Membiarkan masa depannya dalam kendali inisiatif eksternal. Karakter seperti ini bukan ciri-ciri masyarakat rasional.

Kedua, berdamai dengan ortodoksi. Ditandai kerelaannya dipimpin “petugas partai”.

Satu konsep kepemimpinan yang sedang ditolak mayoritas masyarakat Jawa. Bahkan mayoritas masyarakat Indonesia. Penolakan konsep itu salah satu alasan warga Indonesia menentukan pilihannya dalam pilpres.

Apalagi dalam kasus Jakarta. Kepemimpinan entitas politik itu sebelumnya menjadi musuh besar warga Jakarta. “Jakarta tidak mau dipimpin petugas partai”, begitu kata banyak warga Jakarta.

Kini, dalam pilkada, warga Jakarta justru berdamai dengan konsep kepemimpnan itu.

Ketiga, indikasi adanya keputusan emosional. Ialah sebagai pelampiasan kekalahan Anies Baswedan dalam pilpres.

Maka siapa yang dianggap “kawan politik” Anies Baswedan, ia akan dipilih. Tidak peduli “kawan politik” merupakan musuh idiologi sejak lama.

Juga bukan atas pertimbangan kebutuhan strategis. Melainkan emosional politis belaka.

BACA JUGA :  Jumhur Hidayat, Rocky dan Perjuangan Buruh Tanpa Akhir

Ketiga indikasi ini merupakan lonceng kematian bagi eksistensi “masyarakat rasional”. Respon rakyat Jakarta terhadap pilkada menjauhi ciri-ciri eksistesinya sebagai masyarakat rasional itu.

Pilkada Jakarta 2024 menggambarkan kapasitas sosial warga Jakarta sebagai penyangga lokomotif kemajuan bangsa besar juga sedang redup. Mengalami kelelahan.

Maka perpindahan Ibukota itu bukan saja atas realitas keroposnya daya dukung ekologi saja. Penurunan tanah ke bawah air laut oleh rapuhnya daya dukung ekologi Jakarta.

Melainan juga oleh fenomena sosiologi. Redupnya eksistensi sebagai masyarakat rasional.

Jika hal itu betul-betul terjadi, kita bisa menduga-duga penyebabnya. Ialah dampak peragaan politik identitas yang telah berlangsung lama.

Menjadikan masyarakat Jakarta mengalami kemunduran eksistensinya, sebagai masyarakat rasional.

Rehabilitasinya memerlukan waktu. Juga upaya yang tidak sederhana.

ARS (rohmanfth@gmail.com), Jaksel, 03-12-2024