Scroll untuk baca artikel
Opini

Rinjani Ditutup?

×

Rinjani Ditutup?

Sebarkan artikel ini
Foto: Proses evakuasi pendaki Brasil yang jatuh di Gunung Rinjani, (foto_net)
Foto: Proses evakuasi pendaki Brasil yang jatuh di Gunung Rinjani, (foto_net)

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

WAWAINEWS.ID – Rinjani tutup, Itulah tuntutan netizen Brazil atas meninggalnya Juliana Marins di Rinjani. Narasi besarnya bentangan waktu yang terlalu lama: antara kejadian dan datangnya pertolongan. Bentangan itu merupakan momen kritis: hidup matinya seseorang.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Netizen Brazil membuat “serbuan bintang satu”, untuk rating google Taman Nasional Rinjani. Bahkan tututan “Rinjani Tutup”. Netizen Indonesia balik menyerbu Taman Nasional Amazon: kebanggan Brazil. Juga “serbuan Bintang Satu”.

“Banyak hal harus dibenahi, tapi jangan membabi buta menyalahkan Indonesia atas kasus Juliana”. “Jangan mengusik kebanggaan Indonesia, merendahkan martabat Indonesia. Jangan pula mematikan mata pencaharaian orang-orang Rinjani”. Mungkin begitu makna balasan netizen Indonesia itu.

Benturan netizen dua negara ini dimulai oleh peristiwa Sabtu 21 Juni 2025. Pukul 04.00–05.00 WITA, Juliana, warga Brazil, terjatuh di area Cemara Tunggal Gunung Rinjani. Terperosok sejauh 150-200 m menuju jurang Segara Anak, saat istirahat dan ditinggal sendiri oleh rombongan. Pemandu mungkin dibuat dilema: antara kelompok yang ingin meneruskan perjalanan. Dengan Juliana yang harus berhenti dulu. Pemandu bolak balik mengontrol rombongan dan Juliana.

Setelah Juliana jatuh, teriakannya sempat terdengar pendaki lain. Pemandu mencarinya dan melapor Pos TNGR.

Pukul 06.30 WITA, informasi insiden itu diterima petugas Balai TNGR (Taman Nasional Gunung Rinjani). Pukul 09.40 WITA Balai TNGR menghubungi Kantor SAR Mataram. Pukul 10.20, 10.30, dan 12.30 WITA. Tiga tim SAR terpadu (Basarnas, TNGR, BPBD, TNI/Polri) resmi diberangkatkan. Pukul 14.32 WITA Tim awal (pendahulu) tiba di Lokasi Kejadian Perkara (LKP) dan segera melakukan pendekatan awal.

Pukul 16.00 WITA dilakukan evaluasi: tali rapel sepanjang 300 m dinilai tidak cukup menjangkau korban. Juliana semakin terperosok sangat dalam. Pukul 19.38–19.50 WITA, tim SAR tambahan tiba di LKP. Pukul 20.00 WITA: penyelamatan hingga kedalaman 300 m dilakukan, namun tidak menemukan korban. Selebihnya korban tidak tertolong, terlempar lebih dalam. Tim tambahan berdatangan, evaluasi persiapan, pencarian ulang dan evakuasi selesai hingga hari ke empat. Ketika Agam Rinjani, relawan, sebagai orang terakhir sampai ke permukaan bersama mayat Juliana.

BACA JUGA :  Langkah Ubedilah Badrun Membangun Moral Bangsa

Kenapa pada hari pertama itu (sabtu) tim penyelamat tidak segera menjangkau korban. Ketika masih hidup pada kedalaman 200 m?. Harus perlu berjam-jam untuk sampai lokasi. Kenapa tidak menggunakan helikopter. Kenapa persiapan cukup lama. Dan seterusnya. Itulah yang tidak terjelaskan dengan baik. Memicu gelombang emosi netizen Brazil.

Mobilisasi tim SAR terpadu di area terpencil memakan waktu hitungan jam. Cemara Tunggal berada pada ketinggian di atas 2.900–3.000 mdpl, berpasir khas puncak gunung api. Helikopter berisiko gagal terbang oleh pasir beterbangan. Lokasi harus dijangkau secara konvensional: jalan darat.

Cemara Tunggal hingga jurang Segara Anak tempat Juliana terjatuh sangat terjal: (lereng >60°), curam, dan sempit. Tim SAR harus berhitung untuk tidak sekedar segera tiba. Tapi fasilitas untuk penyelamatan korban pada kedalaman: ~150–200 m (kejatuhan awal). Sebelum akhirnya diketahui posisi korban sudah mencapai kedalaman 400–600 m.

Sementara salah satu group relawan berpengalaman dan paham medan (Agam dan TIO) di Jakarta. Posisi hari-harinya sangat dekat dengan jalur Sembalun, tempat korban. Lebih cepat menjangkau lokasi di banding Tim SAR Terpadu. Juliana tergelincir ditakdirkan pada saat salah satu group relawan terbaik untuk rescue itu, berada di kejauhan. Terhalang kehabisan tiket untuk segera bisa datang.

Emosi netizen Brazil melupakan fakta-fakta serupa dalam kecelakaan pendakian gunung. Data digital menunjukkan sepanjang 2017-2025 terdapat 9-13 kematian akibat jatuh, kelelahan, atau kondisi medan ekstrem di Rinjani. Kecelakaan (non-fatal): ± 75 kasus jatuh/terkilir, ≥ 7 tersesat, ≥ 19 sakit/kelelahan. Secara prosentase: sekitar 10–15% berakhir fatal dari 75 keadian insiden.

Mount Everest (Himalaya): total kematian (1921–2023): ± 317–340 orang pendaki. Death rate: 1% dari mereka yang mencapai atas base camp atau summit. Jumlah insident per tahun: ± 8–18 kematian: lebih banyak kematian saat turun dari puncak. Pegunungan Alpen (Swiss, Austria, dll): kematian tahunan di Swiss: ± 50–65 jiwa, terutama pejalan kaki dan pendaki. Setara 0,00012–0,00016% per hike-tahun; 6% fatality bagi yang jatuh.

BACA JUGA :  Idiologi Gerakan Perubahan dan Kekuasaan

Secara jumlah, Rinjani masih paling kecil, walau secara prosentase tampak besar. Karena diukur dari jumlah insiden. Beda dengan Mount Everest yang dihitung dari total pendaki sampai atas base camp.

Terlepas netizen Brazil berlebihan dan melupakan fakta-fakta itu. Menuding Indonesia negara miskin, tidak kompeten, dan terakhir: gerakan boikot Rinjani. Indonesia memang harus berbenah. Bukan untuk Rinjani saja. Melainkann seluruh destinasi wisata ekstrim. Gunung merapi maupun pantai ombak besar.

Berdasarkan riset digital, diketemukan berbagai pandangan terkait solusi Rinjani sebagai berikut:

Pertama, Sistem Deteksi & Respon Dini di Jalur Pendakian. Masalah utamanya adalah keterlambatan laporan, tidak ada sinyal, medan sulit diketahui dari awal. Solusinya GPS Tracker wajib untuk semua pendaki & pemandu. Tiap kelompok pendaki dibekali tracker real-time (seperti InReach atau SPOT) yang bisa mendeteksi posisi, panic button, dan pengiriman sinyal SOS bahkan tanpa sinyal HP.

Panic Button di area rawan: pasang alat tombol darurat berbasis satelit atau radio komunikasi di titik-titik rawan jatuh (misalnya Cemara Tunggal, Plawangan Sembalun, dll). Drone pengintai siaga di pos strategis: dalam waktu <30 menit dari laporan, drone bisa mengudara untuk verifikasi lokasi korban, medan, dan kondisi sekitar sebelum tim SAR fisik naik.

Kedua, Tim SAR Siaga di Zona Atas (Bukan hanya Basecamp). Masalah utama saat ini jarak dari basecamp ke puncak bisa 5–6 jam jalan kaki. Solusinya perlu ada Pos SAR permanen atau rotasi di Plawangan Sembalun dan Senaru. Dengan tim kecil siaga di titik antara 2.500–2.700 mdpl, waktu tempuh ke area puncak berkurang drastis. Standby tenaga lokal terlatih (Rescuer Volunteer/Porter Rescue Team). Penduduk lokal atau porter yang telah dilatih evakuasi cepat bisa menjadi first responder sambil menunggu SAR nasional datang.

BACA JUGA :  Presiden Prabowo Seriusi Transmigrasi?

Ketiga, Peralatan & Infrastruktur Penyelamatan Tingkat Gunung. Masalah utamanya: tali 300 m tidak cukup, tidak ada titik jangkar tetap. Solusinya: bangun titik jangkar tetap di lokasi rawan. Seperti di jalur tebing atau jurang (misal Cemara Tunggal), bisa dibuat sistem pengaman (anchor, sling permanen) untuk memudahkan penurunan tali cepat.

Gudang mini SAR di gunung (cache). Fungsinya menyimpan tali panjang, harness, drone, pemancar sinyal, P3K dan logistik ringan di Plawangan atau Pelawangan Sembalun. Latihan evakuasi vertikal tahunan melibatkan SAR, TNGR, porter, komunitas pendaki agar siap dan terbiasa menghadapi insiden vertical rescue di lereng Rinjani.

Keempat, Regulasi & Edukasi Wajib Sebelum Mendaki. Masalah utamanya: pendaki tidak tahu titik bahaya & SOP evakuasi. Solusinya briefing wajib berisi titik rawan, jalur aman, dan SOP darurat. Visualisasi menggunakan peta interaktif, VR/AR singkat, atau simulasi. Larangan keras mendekat ke tepi jurang tanpa tali pengaman di zona berisiko tinggi. Harus ada rambu dan pagar sederhana (seperti sling webbing) di area seperti Cemara Tunggal yang rawan. Aplikasi resmi pendakian dengan tombol SOS, peta offline, dan panduan kontak darurat.

Target tim SAR bisa menjangkau korban dalam 4 jam sangat memungkinkan jika 3 syarat terpenuhi. Laporan kejadian bisa dikirimkan <15 menit setelah insiden. Tim SAR atau tenaga lokal berada <2 jam dari lokasi. Alat deteksi & evakuasi tersedia di lokasi gunung, bukan menunggu dari kota.

Berapa biaya untuk itu semua. Mempersiapkan team rescue handal Rinjani?. Lagi-lagi menurut riset digital, pemenuhan sistem itu tidak mahal. Tidak lebih 2,5 M. Bisa dipenuhi oleh APBD Kabupaten. Bahkan untuk berpuluh kali lipat dari itu anggarannya. Di negara yang kata netizen Brazil sebagai negara miskin. Apalagi jika ABD Provinsi atau kementerian bergerak.

Bukan hanya Rinjani. Sistem keamanan harus menjadi standar nasional. Di semua lokasi wisata ekstrim.

• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)