TANJUNGPINANG – Vonis satu tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Tanjungpinang terkait perkara korupsi dana kontribusi mangrove di Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan, membuat banyak pihak terkejut hingga memantik sorotan publik.
Vonis majelis hakim pengadilan Tipidkor Tanjung Pinang, pada 7 Juli 2025 terkait perkara korupsi dana kontribusi mangrove di Kecamatan Teluk Sebong itu kini jadi perbincangan hangat terutama terkait tindak lanjut kepada penyuap.
Publik usai vonis tersebut diketuk hakim, justru tak fokus ke angka tahanan penjara kepada masing-masing penerima gratifikasi, melainkan pada siapa yang belum ikut duduk di kursi pesakitan.
“Saya tak menyangka jika 7 orang itu, di vonis bersalah. Karena ini bukan uang negara. Dalam persidangan terungkap bahwa uang itu digunakan untuk pembangunan di Desa atau kecamatan tempat para terdakwa,”ungkap Maskur Tilawahyu, SH, MH, praktisi hukum handal di Pulau Bintan kepada Wawai News, Senin (7/7/2025).

Namun lanjutnya, karena hakim telah memvonis bersalah tentu keputusan itu harus hormati.”Hakim sudah vonis penerimanya, lalu bagamana dengan pemberi? Kalau ada yang menerima, tentu ada yang memberi. Jangan sampai penegakan hukum jadi seperti nasi uduk seporsi tanpa tempe,” sindirnya.
Menurut Maskur, wajar publik mempertanyakan kelanjutan kasus tersebut, apakah berakhir pada 7 pejabat Bintan selaku penerima gratifikasi saja. Terus apa tindaklanjut kepada pemberi terutama ke PT BRC yang disebut sebagai pemberi, bahkan Bos PT BRC pernah dijadikan saksi.
Dikatakan bahwa vonis bersalah terhadap 7 pejabat di Bintan terkait perkara korupsi dana kontribusi mangrove di Kecamatan Teluk Sebong di Bintan tersebut menjadi ujian bagi Kejari dan Kejati baru di Kepri.
Maskur mencontohkan bahwa kasus tersebut mirip seperti gratifikasi yang menjerat Ketua KPU RI hingga mengakibatkan Hasto dan Harus Masiku jadi tersangka selaku pemberi.
Vonis Ringan, Tapi Pertanyaan Publik Berat
Diketahui bahwa tujuh pejabat Bintan divonis masing-masing 1 tahun penjara dan denda bervariasi. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang mengusulkan hukuman 1,5 tahun penjara.
Para terdakwa dinyatakan bersalah melanggar Pasal 11 UU Tipikor, yakni menerima gratifikasi terkait kontribusi dana mangrove dari pihak swasta.
Tapi siapa pemberi dana? Semua mata tertuju pada PT BRC, perusahaan besar yang sempat disebut dalam persidangan dan bosnya bahkan sempat duduk sebagai saksi.
“Aneh. Uang ada, penerima ada, tapi pemberinya entah ke mana. Ini kayak sinetron yang sengaja ditunda ending-nya,” kata Maskur dengan nada kritis.
Daftar Pejabat Terjerat
Berikut para terdakwa dan hukumannya:
- Herika Silvia: 1 tahun penjara, denda Rp50 juta (subsider 2 bulan)
- Sri Heny Utami: 1 tahun penjara, denda Rp100 juta (subsider 3 bulan)
- Julpri Ardani: 1 tahun penjara, denda Rp60 juta (subsider 3 bulan)
- Mazlan: 1 tahun penjara, denda Rp50 juta (subsider 2 bulan)
- Herman Junaidi: 1 tahun penjara, denda Rp60 juta (subsider 3 bulan)
- La Anip: 1 tahun penjara, denda Rp50 juta (subsider 2 bulan)
- Khairuddin: 1 tahun penjara, denda Rp50 juta (subsider 2 bulan)
Semua terdakwa tetap ditahan dan diberi waktu tujuh hari untuk menyatakan sikap, terima atau banding. Sementara publik bertanya-tanya apakah pemberi gratifikasi akan menyusul atau cukup jadi cameo?
Maskur menyebut kasus ini semestinya jadi ujian integritas bagi Kejari dan Kejati Kepri. Ia membandingkan dengan kasus besar di tingkat pusat seperti gratifikasi Ketua KPU RI yang menyeret juga pemberinya Harun Masiku dan Hasto.
“Kalau logikanya, siapa makan nasi, dia juga bawa lauk, maka jangan hanya suap disorot, tapi juga yang menyuapi,” sindir Maskur.
Jika tidak ditindaklanjuti, publik khawatir akan muncul citra bahwa “uang besar bisa lepas dari jerat hukum, sementara yang bawa map dan stempel harus masuk bui.”
Keadilan seharusnya tidak mengenal status apakah dia pejabat lokal atau bos korporat. Jika tujuh pejabat sudah divonis, publik sekarang menunggu giliran si pemberi. Jangan sampai hukum seperti ATM hanya berbunyi kalau ada setor tunai.
Dan kepada PT yang disebut-sebut dalam perkara ini, publik cuma mau tahu: “Kapan giliran Anda?”***