TANGGAMUS – Suasana duka dan kemarahan menyelimuti keluarga Suarjen, seorang tahanan di Rutan Kota Agung yang dipulangkan dari RSUD Batin Mangunang dalam kondisi nyaris tak sadarkan diri, hanya untuk meninggal dunia sehari kemudian.
Keluarga menuding rumah sakit telah lalai berat, bahkan mengarah pada malpraktik dan kekejaman sistematis terhadap pasien kelas bawah. Sehingga diibaratkan “rawat jalan ke akhirat”.
Suarjen, yang tengah menjalani masa tahanan, masuk rumah sakit dalam kondisi darurat medis. Hemoglobin (Hb) hanya 3,4 dan trombosit tinggal 6 – angka yang di dunia medis biasanya mengaktifkan alarm kode merah, bukan menyerahkan pasien ke tukang ojek.
“Kondisinya nyaris koma, tapi RSUD tetap melepas ayah saya begitu saja. Saya sampai bingung, ini rumah sakit atau terminal?” ucap Dendi, anak almarhum, kepada wartawan, Senin (8/7/2025).
Yang membuat publik makin geram adalah alasan pemulangan yang terdengar seperti plot film absurditas medis. Kepala Ruang Penyakit Dalam RSUD Batin Mangunang, Erlina, menyebut Suarjen dipulangkan karena sudah “stabil.”
“Memang Hb-nya 3,4 dan trombosit 6, tapi pasiennya masih bisa buka mata, jadi dianggap stabil. Saran kami, rawat jalan saja,” ujarnya ringan, seolah mengobati anemia berat cukup dengan teh manis dan semangat hidup.
Satu hari setelah dipulangkan ke rutan, Suarjen meninggal. Keluarga bahkan tidak sempat menemuinya di detik-detik terakhir, yang bagi Dendi, adalah luka paling dalam.
“Ayah saya dipulangkan hanya untuk wafat dalam diam, tanpa keluarga. Ini bukan lagi sekadar kelalaian—ini kriminalitas yang dibungkus jas putih,” tegas Dendi.
Pihak Rutan Kota Agung pun terkesan tak ingin ikut “menjaga api”. Mereka menyatakan hanya menjalankan perawatan berdasarkan resep yang diberikan rumah sakit.
“Kami hanya mengikuti petunjuk obat dari RS. Kalau memburuk, ya rujuk lagi,” kata petugas medis rutan, Maylan, seolah menyampaikan bahwa nyawa tahanan bisa ditangani seperti motor mogok, ditarik lagi kalau mati total.
Keluarga Suarjen kini tengah menggandeng kuasa hukum untuk melaporkan RSUD Batin Mangunang ke pihak berwenang.
Mereka menuntut audit medis independen dan pemeriksaan etika terhadap seluruh tenaga kesehatan yang terlibat.
Ironisnya, kasus ini bukan pertama bagi RSUD Batin Mangunang. Keluhan soal diskriminasi pelayanan, minimnya empati terhadap pasien miskin atau tahanan, dan lemahnya standar penanganan darurat telah berkali-kali mencuat.
“Kami harap kasus ini membuka mata publik: jangan sampai rumah sakit justru menjadi ‘stasiun terakhir’ bagi yang tak mampu membayar perhatian,” kata Dendi.
Kasus ini juga membuka wacana soal perlakuan terhadap tahanan sebagai manusia yang masih punya hak atas perawatan medis layak. Bahwa status tahanan tak boleh menghapus hak atas pengobatan apalagi hidup.
Jika rumah sakit mulai memulangkan pasien dalam kondisi stabil menuju liang kubur, maka kita patut bertanya, apakah yang sedang dirawat adalah pasien, atau reputasi buruk sistem?.***