JAKARTA -Sejumlah orang yang mengaku wartawan ditangkap jajaran Subdit Kejahatan dan Kekerasan (Jatanras) Polda Metro Jaya, usai diduga memeras seorang pria berinisial N di Tangerang Selatan. Mereka ditangkap bukan karena berita eksklusif, tapi karena konten “eksklusif” yang dijadikan alat tekan.
Mereka tidak sedang liputan investigasi, tapi investasi ketakutan, berharap korban membayar demi meredam aib yang belum tentu valid. Dan seperti kata pepatah lama kalau wartawan gadungan ketemu korban panik, maka saldo pun jadi berita utama.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary, kejadian bermula pada Kamis, 22 Mei 2025 sekitar pukul 17.00 WIB di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan.
Korban sedang berada di kantor saat seorang perempuan tak dikenal mendadak masuk, merangkul, dan mengajak bicara dengan gaya yang katanya profesional, namun ternyata penuh intimidasi.
“Perempuan itu mengancam akan mempublikasikan tingkah laku korban jika tidak memberi uang. Awalnya minta Rp130 juta, tapi korban mentransfer Rp15 juta karena takut namanya viral di medsos,” ujar Kombes Ade Ary, Sabtu 12 Juli 2025.
Sayangnya, bukan viral prestasi, tapi ancaman reputasi. Untung korban cepat sadar bahwa ancaman bukan bagian dari Kode Etik Jurnalistik, lalu melapor ke polisi.
Polisi tak tinggal diam. Setelah melakukan olah TKP, wawancara, dan pelacakan digital, Tim Jatanras mengamankan perempuan berinisial FFT (31) di Duren Sawit, Jakarta Timur pada Rabu, 3 Juli 2025.
Pengembangan kasus kemudian mengarah ke Rawalumbu, Kota Bekasi, yang ternyata menjadi markas “redaksi bayangan” para pelaku. Di sana, delapan tersangka lain diciduk, antara lain:
- KMB (57)
- PS (52)
- EIH (48)
- AH (40)
- SFB (21)
- AC (25)
- AECB (24)
- RMH (31)
Semuanya diamankan saat “tidak sedang meliput”, melainkan mungkin sedang menyusun narasi pemerasan edisi berikutnya.
Menurut penyelidikan, para pelaku menggunakan modus klasik ala paparazzi kriminal:
- Nongkrong di dekat hotel-hotel transit,
- Mengikuti pasangan yang keluar,
- Kemudian menuduh salah satu pihak telah “melakukan cabul”,
- Dan mengaku sebagai wartawan yang siap mempublikasikan kasus tersebut.
Dengan ancaman publikasi dan gaya bicara “seolah-olah pers”, mereka meminta sejumlah uang dalam bentuk transfer langsung, mungkin agar lebih cepat masuk ke “rekening redaksi fiktif”.
Satirnya, jika benar mereka wartawan, maka ini adalah satu-satunya redaksi yang kerjanya bukan mencari fakta, tapi menebar fiktif dan intimidasi.
Polisi menjerat para tersangka dengan:
- Pasal 368 KUHP tentang pemerasan
- Pasal 369 KUHP tentang pengancaman
Kombinasi dua pasal ini bisa menghasilkan hukuman maksimal 9 tahun penjara, atau setara 3.285 kali deadline berita harian yang gagal tayang.***