TANJUNGPINANG — Drama hukum penuh teka-teki kembali dipentaskan di atas panggung hukum Indonesia. Kali ini panggungnya lift sempit di KTV Majestik, Tanjungpinang, dengan lakon, dua tersangka, satu korban, dan sebuah surat penahanan yang entah diteken oleh siapa.
Pada 18 Juli 2025, Kejaksaan Negeri Tanjungpinang resmi menahan dua pria: Hartono alias Amiang dan Lovikospanto alias Luku, dalam kasus dugaan pengeroyokan yang unik. Unik karena, menurut kuasa hukum mereka, keduanya justru korban, bukan pelaku.
Bahkan yang satu disebut-sebut hanya mencoba melerai. Tapi entah kenapa, dalam logika hukum versi lokal, yang melerai bisa masuk bui lebih dulu daripada yang memukul.
Jhon Asron Purba, S.H., kuasa hukum Amiang dan Luku, menyebut proses hukum ini seperti dibangun di atas papan catur yang bidaknya kabur.
“Surat penahanan ini ditandatangani oleh siapa? Plt Kajari? Padahal Kajari definitif sudah ditunjuk berdasarkan SK Jaksa Agung,” kata Jhon, penuh semangat dalam konferensi pers yang lebih terdengar seperti kuliah umum tentang administrasi hukum darurat.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor 353 Tahun 2025 tertanggal 4 Juli 2025, Rahmad Surya Lubis telah resmi menjabat sebagai Kajari Tanjungpinang. Bahkan sudah dilantik pada 21 Juli. Jadi, kalau surat penahanan diteken sebelum pelantikan, oleh siapa? Dan kalau setelah pelantikan, kenapa bukan Kajari definitif yang tanda tangan?
Kejari menjawab kalem, melalui Kasi Intel Senopati: “Dalam masa transisi, tidak ada aturan yang membatasi siapa pimpinan yang menandatangani surat.”
Sontak muncul satu lagi tokoh di drama ini: “Bapak Aturan”, yang tampaknya sedang cuti panjang atau tersesat di lorong lift KTV.
Kasus ini bermula dari insiden sepele di lift KTV Majestik, 28 Januari 2025. Yani Safitry menginjak kaki seseorang secara tidak sengaja. Sudah minta maaf, tapi malah berujung pengeroyokan terhadap dirinya dan Hartono alias Amiang oleh tujuh pria.
Amiang melapor ke polisi keesokan harinya. Tapi belum sempat mengganti sandal, muncul laporan balik dari Hartono alias Acai salah satu terduga pelaku yang justru diproses lebih cepat. Kalau hukum adalah balap karung, maka laporan Acai pakai motor sport, sementara laporan korban jalan kaki sambil menyeret ransel.
Tak lama berselang, pada 22 April 2025, Amiang dan Luku malah ditetapkan sebagai tersangka. Yang satu korban, yang satu melerai. Dua-duanya masuk bui. Sementara tujuh orang yang terlibat pengeroyokan, entah sedang karaoke atau liburan.
“Ini seperti masuk rumah sakit karena ditabrak, lalu dituduh menabrak ambulans,” sindir Jhon tajam, menyamakan proses hukum ini dengan dagelan hukum tanpa penonton.
Pihak kuasa hukum kini bersiap mengajukan ulang permohonan penangguhan penahanan, setelah sebelumnya tidak diproses karena “tidak ada Kajari definitif.” Sekarang sudah ada, semoga permohonannya tidak ikut nyasar ke lift.
Tak hanya itu, laporan ke Jaksa Pengawas (Jamwas) dan praperadilan juga akan diajukan. Tujuannya? Membuka tabir siapa sebenarnya yang bermain di balik layar. Karena dalam kasus ini, pertanyaannya bukan cuma siapa memukul siapa, tapi siapa yang main catur dengan bidak hukum rakyat kecil.***