LAMPUNG TIMUR — Pemerintah melalui Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) resmi meluncurkan program 20 Desa Migran Emas, bertempat di GOR Bumi Tuah Bepadan, Lampung Timur, Kamis (31/7/2025).
Program ini digadang-gadang sebagai solusi cerdas untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) desa agar mampu bersaing di pasar tenaga kerja global secara legal, aman, dan bermartabat.
Menteri P2MI Abdul Kadir Karding hadir langsung untuk meresmikan program tersebut, didampingi jajaran Forkopimda, kepala OPD se-Lampung Timur, serta ratusan calon pekerja migran, pelajar SMA/SMK, dan undangan lainnya.
Dalam sambutannya, Bupati Lampung Timur Ela Siti Nuryamah menyampaikan kebanggaannya atas terpilihnya wilayahnya sebagai peluncur program perdana.
Menurut Teh Ela, Lampung Timur merupakan kabupaten pengirim Pekerja Migran Indonesia (PMI) terbanyak di Provinsi Lampung, dan menempati peringkat ke-8 secara nasional.
“Ini bukan sekadar prestasi statistik, tapi sekaligus alarm sosial. Banyaknya warga yang bekerja ke luar negeri menunjukkan kita butuh sistem migrasi tenaga kerja yang lebih tertata, aman, dan edukatif,” ujar Ela.
Ela menambahkan bahwa 20 desa yang ditetapkan sebagai Desa Migran Emas telah memenuhi sejumlah indikator, mulai dari tersedianya Peraturan Desa (Perdes) tentang perlindungan migran, hingga tingginya jumlah pengiriman PMI.
Salah satunya adalah Desa Bandar Agung, Kecamatan Sribawono, yang tercatat telah mengirim lebih dari 600 PMI.
Sementara itu, Menteri P2MI Abdul Kadir Karding menjelaskan latar belakang dibentuknya kementerian baru ini. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 139 Tahun 2024, Kementerian P2MI dibentuk untuk secara khusus menangani persoalan pekerja migran mulai dari perlindungan, pemberdayaan, hingga advokasi hukum.
“Kita punya lebih dari 5,2 juta PMI yang terdaftar. Tapi ironisnya, 97% kasus kekerasan terhadap PMI terjadi pada mereka yang berangkat secara non-prosedural,” kata Karding.
Dia menegaskan bahwa kehadiran negara tidak akan maksimal bila PMI berangkat “seperti hantu” alias tidak tercatat, tidak terlindungi, dan tak diketahui keberadaannya.
Menurut Karding, keberangkatan secara prosedural akan menjamin keamanan, perlindungan hukum, dan keterpantauan data mulai dari lokasi kerja, jenis pekerjaan, hingga siapa yang mengirim dan menerima.
Program Desa Migran Emas tak hanya fokus pada edukasi prosedural, tetapi juga pelatihan vokasi, literasi keuangan, dan advokasi hukum. Kolaborasi pun ditekankan, mulai dari pemerintah daerah, Balai Latihan Kerja (BLK), sektor perbankan, hingga organisasi masyarakat.
“Kita tidak bisa hanya menyerahkan nasib pekerja migran pada nasib itu sendiri. Harus ada sistem dukungan, dari sebelum berangkat hingga pulang kampung,” lanjut Karding.
Dengan kata lain, pekerja migran tak lagi dianggap ‘remitansi berjalan’, tapi duta kerja profesional yang harus dilatih, dilindungi, dan diberdayakan.
Meskipun peluncuran program ini menjadi langkah strategis dalam reformasi tata kelola migrasi tenaga kerja, tak bisa dipungkiri bahwa realitas desa-desa pengirim PMI seringkali masih berkutat pada masalah klasik: kemiskinan, pengangguran, pendidikan rendah, dan minimnya lapangan kerja lokal.
Desa Migran Emas bisa menjadi solusi jangka panjang jika dibarengi dengan komitmen berkelanjutan dan pengawasan serius.
Tanpa itu, program ini berisiko menjadi sekadar rebranding kebijakan lama, hanya beda nama, beda spanduk, tapi sama-sama membiarkan desa “ekspor tenaga kerja” karena tak punya alternatif lain.***