JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan dua anggota DPR RI, Satori dan Heri Gunawan, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Keduanya diduga bukan sekadar “mengawal anggaran”, tapi juga ikut menikmati aliran dana CSR yang seharusnya menyentuh warga miskin, bukan dompet politisi.
“Dari tahun 2021 hingga 2023, yayasan-yayasan yang dikelola oleh ST dan HG menerima dana dari mitra kerja Komisi XI DPR RI, tapi tidak melaksanakan kegiatan sosial sebagaimana yang dijanjikan dalam proposal,” ujar Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, Kamis (7/8/2025), di Gedung KPK, Jakarta Selatan.
Menurut KPK, memang ada kegiatan sosial yang dilakukan. Tapi, layaknya pertunjukan pura-pura dermawan di medsos, skalanya jauh dari klaim dalam proposal.
“Misalnya dana diajukan untuk 10 rumah tidak layak huni, yang dibangun cuma 2. Sisanya? Cukup difoto dari berbagai angle, lalu disusun laporan pertanggungjawaban seolah-olah 10 rumah selesai,” lanjut Asep, yang tampaknya mulai fasih membedakan bantuan nyata dan bantuan gaya.
Kalau biasanya CSR menyasar “rutilahu” (rumah tidak layak huni), kali ini yang muncul adalah “rutilalu” rumah tidak layak untung. Rakyat miskin kebagian dua rumah, sisanya jadi bahan selfie pejabat dan laporan fiktif.
Kasus ini memperlihatkan bagaimana program sosial bisa jadi proyek sabun muka politik: tampak bersih di luar, tapi busuk di dalam. Jika ini dibiarkan, bukan mustahil proposal pembangunan panti asuhan ke depan hanya akan menghasilkan satu lemari pakaian untuk pengurus yayasan, dan satu konferensi pers bertema “Kita Peduli”.
Kegiatan sosial mestinya memperbaiki nasib rakyat. Tapi kalau yang dibangun cuma pencitraan, kita patut bertanya: siapa sebenarnya yang tidak layak huni rakyat atau nurani para wakilnya?.***