BANDUNG – HUT ke-80 Jawa Barat bukan sekadar ulang tahun, tapi panggung besar di mana sejarah, budaya, dan gaya hidup modern berbaur seperti sayur asem: asam, gurih, segar, kadang bikin kaget.
Wali Kota Bekasi Tri Adhianto bersama sang istri hadir dengan gaya royal vibes mengenakan busana Sri Maharja Tarusbawa. Bayangkan saja, raja abad ke-7 tiba-tiba muncul di abad 21sebuah crossover sejarah yang bahkan Marvel belum sempat garap.
Maharja Tarusbawa, yang dulu menakhodai perubahan dari Tarumanagara ke Sunda, kini seperti bangkit kembali lewat setelan Wali Kota Bekasi.
Bedanya, dulu naik gajah atau kuda, sekarang naik kereta kencana beroda karet. Modernisasi tetap harus jalan, toh Bandung macet kalau semua raja turun bareng.
Tak mau kalah, Wakil Wali Kota Bekasi Abdul Harris Bobihoe tampil dengan busana adat Bekasi versi modern. Perpaduan tradisi dengan nuansa modis ini mengingatkan kita bahwa Bekasi itu tidak hanya panas dan macet, tapi juga punya fashion statement yang bisa bikin Bandung melirik. Kalau biasanya Bekasi dikenal dengan lelucon “planet lain”, kali ini Bekasi membuktikan kalau mereka juga punya orbit budaya yang bisa bikin panggung Jawa Barat makin berwarna.
Kirab budaya pun berlangsung. Tri Adhianto dan Harris Bobihoe bersama istri masing-masing menaiki kereta kencana menuju panggung kehormatan, sementara para camat dan lurah jalan kaki. Filosofinya jelas pemimpin lewat atas, bawahan lewat bawah, rakyat lewat pinggir, tapi semua tetap satu jalur.
Bahkan sempat ada momen kocak: sebagian warga yang menonton kirab berbisik, “Kalau semua camat dan lurah Bekasi jalan kaki ke Bandung, jangan-jangan pelayanan di kantor hari ini tutup total.” Humor rakyat yang menyejukkan di tengah teriknya Bandung.
Acara dilanjutkan dengan parade budaya dari 27 kabupaten/kota. Ada jaipongan, pencak silat, gamelan, hingga ronggeng Bekasi. Uniknya, Kota Bekasi menghadirkan dongdang khas biasanya untuk hajatan tapi kini naik panggung provinsi. Sontak ada yang nyeletuk, “Kalau dongdangnya sampai nyasar ke Gedung Sate, mungkin langsung berubah jadi menu makan siang.”
Meski begitu, semua suguhan budaya terasa seperti jembatan waktu: dari kerajaan kuno, tradisi leluhur, sampai kekinian yang pakai sound system 3000 watt.
HUT ke-80 Jawa Barat akhirnya bukan sekadar pesta seremonial, melainkan potret kebersamaan. Ada raja yang ‘lahir kembali’, ada wakil yang bergaya Bekasi modern, ada rakyat yang masih sempat melontarkan humor segar semuanya berpadu dalam satu irama kebudayaan.
Karena memang begitulah budaya: bukan hanya untuk dikenang, tapi juga untuk ditertawakan dengan penuh hormat.***