JAKARTA – Wacana kembalinya keluarga Cendana ke panggung utama Partai Golkar kembali menyeruak. Kali ini, nama Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut Soeharto digadang-gadang menggantikan Bahlil Lahadalia sebagai Ketua Umum Golkar.
Dorongan itu bukan datang dari elite politik, melainkan dari warganet yang ramai-ramai mengamini ide tersebut lewat kolom komentar di akun Instagram RMOL.
Mereka memberi emotikon api, hati, hingga kalimat bernada rindu terhadap masa-masa ketika Soeharto mengendalikan Golkar selama tiga dekade lebih.
“Setuju kembalikan Orde Baru,” tulis salah satu akun dengan penuh semangat, seolah lupa bahwa Orde Baru bukanlah brand minuman energi.
Komentar lain lebih lugas: “Bahlil cepet diganti.” Kalimat singkat, jelas, dan lebih tajam dari jargon politik manapun.
Tutut bukan orang asing di dunia politik. Ia pernah duduk di MPR Fraksi Golkar (1992–1998) dan sempat dipercaya Soeharto sebagai Menteri Sosial pada Maret 1998. Saat itu, Tutut meluncurkan program makan gratis, sebuah kebijakan darurat menghadapi krisis moneter.
Program ini memang singkat, tapi setidaknya masih lebih dikenang dibanding sebagian menteri sekarang yang lebih sibuk dengan konferensi pers ketimbang solusi.
Selain itu, setelah wafatnya Ibu Tien Soeharto tahun 1996, Tutut sempat berperan sebagai First Lady dadakan.
Dengan latar belakang tersebut, sebagian publik menilai dirinya punya modal sosial dan simbolis untuk memimpin partai beringin.
Dosen Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta, Saiful Anam, menyebut Golkar memang sulit dipisahkan dari Cendana.
“Jika Golkar dipimpin Mbak Tutut, sangat besar kemungkinan akan kembali reborn,” ujarnya.
Kata “reborn” ini terdengar seperti tagline film superhero, padahal yang dimaksud adalah kebangkitan sebuah partai yang dulu jadi mesin politik Orde Baru.
Bayangan itu tentu menimbulkan dilema apakah publik benar-benar rindu stabilitas ala Soeharto, atau sekadar ingin bernostalgia sambil melupakan represi politik dan kebebasan yang dikekang.
Fenomena dorongan warganet ini menunjukkan satu hal: sebagian masyarakat masih percaya politik bisa diselesaikan dengan nostalgia. Padahal, Golkar sendiri sudah bertransformasi jadi partai yang kerap berganti wajah sesuai kebutuhan koalisi.
Jika Tutut benar-benar naik tahta, Golkar mungkin akan terlihat seperti beringin tua yang menumbuhkan tunas ke belakang, bukan ke depan. Bagi lawan politik, ini bisa jadi alarm: Orde Baru mungkin sudah tamat, tapi “spirit” Cendana belum tentu mau pensiun.***













