SIDRAP – Kamar wisma di Kabupaten Sidrap mendadak jadi TKP tragis, Jumat (5/9/2025). MKP (34), seorang wanita, ditemukan tewas bersimbah darah dengan luka tusukan di leher. Pelakunya, YN (31), pria asal Kabupaten Wajo, kini meringkuk di balik jeruji besi.
Mirisnya, kasus ini bukan sekadar soal “pelanggan vs penyedia jasa”, melainkan potret buram relasi transaksional yang berakhir maut.
Menurut Kapolres Sidrap, AKBP Fantry Taherong, YN mencari layanan seksual lewat aplikasi MiChat dengan fitur mencari sekitar. Pilihannya jatuh pada akun milik MKP. Deal: Rp600 ribu untuk satu jam kencan.
Setibanya di wisma, transaksi berjalan seperti biasa. Namun, ketika YN meminta “jatah kedua” karena waktu masih sisa 25 menit, MKP menolak kecuali ada pembayaran tambahan. YN hanya mau bayar Rp300 ribu. Dari sinilah percikan api dimulai.
“Setelah sekali berhubungan, waktunya masih ada. Korban minta dibayar lagi, pelaku menawar. Terjadi cekcok, korban menggigit tangan pelaku. Panik, pelaku mencekik lalu menusuk leher korban dengan badik,” ujar Fantry.
Badik Bicara Saat Kata Habis
Skenario pun berubah jadi tragedi. Jeritan MKP tak mereda meski dicekik. YN, yang rupanya tidak hanya membawa nafsu tapi juga badik, akhirnya menghunus senjata itu ke leher korban. Satu tusukan cukup untuk mengakhiri nyawa.
YN kabur, bersembunyi di kebun wilayah Wajo. Tapi pelarian tak panjang. Tiga hari kemudian, polisi menangkapnya bersama barang bukti. Ia dijerat Pasal 338 KUHP, dengan ancaman 15 tahun atau seumur hidup.
Suami yang Mengantar Istri ke Wisma
Seolah cerita ini kurang dramatis, polisi menemukan fakta lebih ironis: korban ternyata diantar suaminya sendiri ke wisma. Rekaman CCTV memperlihatkan sang suami mengantar istrinya sampai kamar, bahkan sempat bawakan makanan, lalu menunggu di lorong.
Sayangnya, jeritan yang terdengar bukan panggilan cinta, melainkan pekikan maut.
Kapolres Fantry menyebut sang suami sebenarnya sudah lama melarang istrinya “berprofesi” seperti itu. Bahkan sempat menalak karena tak sanggup menahan. Namun, setiap kali dilarang, MKP mengancam pergi. Pada akhirnya, sang suami terpaksa mengalah, bahkan mengantar ke kamar.
“Sudah ditegur berkali-kali, bahkan keluarga ikut menasihati. Tapi korban tetap jalan. Pemesanan dan pembayaran semua diatur korban sendiri, suaminya hanya saksi,” jelas Fantry.
Kasus ini jadi cermin getir: aplikasi kencan yang mestinya cuma “fitur mencari sekitar” berubah jadi pintu tragedi. Tarif, waktu, dan “jatah kedua” jadi bahan tawar-menawar hidup mati. Badik bicara lebih cepat daripada logika, dan seorang suami akhirnya jadi saksi bisu kejatuhan istrinya.
Sidrap pun kembali mencatat satu ironi: bahwa ketika cinta kalah oleh transaksional, rumah tangga bisa runtuh, dan wisma berubah jadi ruang autopsi sosial.







