Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 29/09/2025
WAWAINEWS.ID – Beras di gudang Bulog makin mirip “anak kos” di akhir bulan numpuk, nggak kepake, ujung-ujungnya basi atau kadaluwarsa.
Komisi IV DPR RI lagi-lagi menemukan stok lama yang berubah warna, berdebu, bahkan berkutu. Kalau beras bisa ngomong, mungkin dia sudah protes: “Lepaskan aku ke piring rakyat, jangan disekap di gudang dingin begini.”
Maret 2025, Titiek Soeharto sempat bikin heboh saat sidak ke Bulog Yogyakarta. Ia menemukan stok impor lama yang katanya sudah infested alias jadi rumah serangga.
Agustus 2025, giliran Bukittinggi disorot karena stok lama bertumpuk. Lalu, pada 23 September 2025 di Ternate, ditemukan 1.200 ton beras dari Mei 2024 yang warnanya sudah berubah abu-abu. Cocok jadi bahan mural, tapi jelas tidak layak dikonsumsi.
Mengapa Beras Bisa Jadi “Zombie”?
Beras kadaluwarsa itu bukan sulap, ada sebabnya. Setidaknya tiga faktor besar:
- Overstocking vs Understocking. Di satu gudang beras menumpuk sampai ubanan, di tempat lain orang antre karena kekurangan. Ironi “negara surplus tapi lapar.”
- Data real-time nihil. Informasi stok dan distribusi masih manual, seolah negeri ini belum punya internet.
- Lambat deteksi risiko. Bulog biasanya baru panik ketika publik ribut. Sistem alarm dini? Belum ada. FIFO (First In First Out)? Sering berubah jadi FISH – First In Still Here.
Hasilnya, stok 3,95 juta ton awal September 2025 itu sebagian besar hanya jadi pajangan. Catatan menunjukkan 194 ribu ton berusia lebih dari setahun, dan 1,18 juta ton sudah “setengah baya” alias disimpan lebih dari enam bulan.
Solusi: Dashboard, Bukan Dasbor Mobil
Kondisi ini sebenarnya bisa diatasi dengan Smart Commodity Dashboard. Bukan aplikasi pesan makanan, tapi sistem digital yang bikin pemerintah bisa tahu beras mana yang harus segera keluar, beras mana yang masih segar, dan beras mana yang sudah siap masuk museum.
Fitur andalannya:
- Integrasi data hulu sampai hilir. Dari sawah, gudang, sampai warung nasi uduk.
- Pemantauan real-time. Bukan laporan sebulan sekali yang sudah basi kayak berasnya.
- Alarm dini. Kalau stok mulai abu-abu, sistem langsung bunyi: “Tolong, selamatkan aku sebelum jadi debu.”
- Transparansi. Biar nggak ada lagi cerita stok “siluman” atau angka ganda.
Carrefour sudah pakai model begini untuk mencegah produk kadaluwarsa. Orde Baru aja dulu rajin umumkan harga via radio tiap pagi. Masa sekarang, dengan segala kecanggihan teknologi, data beras kita masih model Excel offline?
Penutup
Pemerintah memang sedang menyiapkan National Dashboard for Sustainable Commodity Data and Information. Tapi fokusnya ke sawit, kakao, kopi, karet bahan ekspor. Untuk beras, yang jadi makanan pokok 270 juta rakyat, dashboard cerdas ini masih sebatas wacana.
Jadi wajar kalau beras di gudang Bulog makin mirip pensiunan, disimpan, dilupakan, lalu berubah warna.
Kalau pemerintah mau serius, jangan biarkan beras jadi zombie di gudang. Lepaskan dia ke meja makan rakyat. Itu lebih mulia daripada menjadikannya saksi bisu kebijakan setengah hati.
ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)








