PESAWARAN – Entah karena panik atau merasa jadi pahlawan film laga, Sutrisna, mantan Kepala Desa Mada Jaya, Kabupaten Pesawaran, Lampung, sempat memecahkan kaca rumahnya sendiri ketika aparat datang menjemput.
Namun, kali ini babak akhirnya berbeda drama panjang itu ditutup dengan borgol di tangan.
Sutrisna yang sudah lama jadi buronan kasus dugaan korupsi dana BUMDes senilai Rp553 juta akhirnya diringkus tim gabungan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung pada Sabtu (4/10/2025).
Penangkapan berlangsung tegang. Ia sempat melakukan perlawanan, dan sejumlah anggota keluarga ikut berperan sebagai “tameng manusia” adegan yang lebih mirip sinetron sore daripada proses hukum.
Namun, setelah negosiasi singkat dan sedikit drama, tim gabungan yang dibantu kepolisian berhasil mengamankan tersangka dan membawanya ke Kejati Lampung untuk diperiksa.
Menurut Kasi Intel Kejari Pesawaran, Fuad Alfano Adi Chandra, Sutrisna sebetulnya sudah diberi banyak kesempatan untuk datang dengan kepala tegak. Tapi yang bersangkutan memilih gaya hard to get.
“Sudah kami panggil tiga kali 12, 25 Oktober, dan 21 November 2024. Tapi tak pernah hadir. Mungkin beliau pikir panggilan itu undangan nikahan,” ujar Fuad dengan nada getir.
Bahkan, upaya paksa pada Februari 2025 juga gagal total. Saat itu, petugas mendatangi rumahnya, tapi Sutrisna justru memecahkan kaca jendela rumah sendiri mungkin berharap bisa menggertak petugas dengan efek suara dramatis.
“Situasi jadi tidak kondusif, jadi kami mundur. Setelah itu, kami tetapkan status DPO,” kata Fuad.
Instruksi Langsung Kejati Lampung: Operasi Tangkap Tanpa Drama (Tapi Tetap Dramatis)
Menjelang akhir September 2025, Kepala Kejati Lampung akhirnya turun tangan langsung. Sebuah tim kecil dibentuk, bukan hanya untuk menangkap, tapi juga memastikan tidak ada lagi adegan pecah kaca jilid dua.
Dan benar saja penangkapan kali ini berlangsung cepat, rapi, tanpa darah, tanpa kaca pecah.
Dari hasil penyidikan, kasus yang menjerat Sutrisna berawal dari penyalahgunaan dana BUMDes tahun 2018 senilai Rp553 juta. Dana yang seharusnya jadi modal usaha warga malah menguap entah ke mana diduga kuat masuk ke rekening pribadi sang mantan kades.
“Uang itu seharusnya untuk pengembangan usaha desa, bukan usaha pribadi,” jelas Fuad.
Sayangnya, di banyak desa, istilah usaha bersama sering berubah jadi usaha keluarga besar kepala desa.
Selain kasus BUMDes, Sutrisna ternyata juga bukan pemain baru di panggung hukum. Ia pernah tersangkut kasus narkoba, dan belakangan diketahui masih aktif memimpin sebuah organisasi masyarakat di Pringsewu.
Kombinasi yang unik dari narkoba ke ormas, dari ormas ke BUMDes, semuanya ditempuh dengan semangat juang tinggi.
Tim Kejati Lampung kini menelusuri kemungkinan keterlibatan pihak lain.
“Penyidikan masih terus berjalan, kami dalami aliran dana dan siapa saja yang ikut menikmati hasilnya,” kata Fuad.
Kasus Sutrisna menambah daftar panjang kisah BUMDes yang gagal jadi tumpuan ekonomi rakyat karena disalahgunakan aparat sendiri.
Program yang sejatinya dirancang untuk menyejahterakan warga, di tangan orang salah bisa berubah jadi “badan usaha milik dendam pribadi”.
Kini, Sutrisna tak lagi bebas keluyuran seperti bulan lalu. Dari ruang tamu rumahnya yang dulu berantakan, ia berpindah ke ruang tahanan yang jauh lebih rapi tanpa kaca, jadi tidak perlu takut pecah lagi.
Dan seperti biasa, di balik setiap koruptor yang tertangkap, selalu ada satu pelajaran lama yang seolah baru:
“Dana desa itu bukan warisan keluarga. Tapi ya, beberapa orang memang sulit membedakan.”***