Scroll untuk baca artikel
Opini

Silfester dan Jaksa yang Kehilangan Taring

×

Silfester dan Jaksa yang Kehilangan Taring

Sebarkan artikel ini
Silfester Matutina dan Mantan Presiden Jokowi - foto doc ist

Oleh Redaksi

JAKARTA — Kasus mangkirnya Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), Silfester Matutina, kini resmi jadi tontonan favorit publik. Sebuah drama hukum yang menampilkan Kejaksaan Agung bukan sebagai lembaga penegak hukum, tapi lebih mirip lembaga penegak harapan harap-harap datang sendiri.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Bagaimana tidak? Sudah dipanggil, tidak datang. Sudah ditunggu, tak muncul. Tapi anehnya, status buronan pun tak kunjung disematkan. Jaksa tampak sabar, bahkan terlalu sabar mungkin sedang menerapkan ajaran “ikhlas tanpa pamrih.”

“Belum (dijadikan buron), ini kita belum, ini dulu (dicari),” kata Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, dengan nada seperti orang kehilangan sandal di masjid tapi yakin masih ketemu nanti, sebagaimana dikutip Minggu 12 Oktober 2025.

Dan ketika publik menanti langkah tegas, Anang justru melempar bola ke pengacara Silfester.

“Sebagai penegak hukum yang baik, tolonglah, kalau bisa bantulah dihadirkan. Katanya kan ada di Jakarta. Bantulah penegak hukum, bawalah ke kita,” katanya penuh kelembutan.

Begitulah, kini penangkapan berubah jadi gotong royong. Jaksa minta tolong pengacara, nanti mungkin giliran satpam komplek atau ojek online dimintai bantuan.

Sementara itu, sang pengacara, Lechumanan, tampil seperti pengacara spiritual, menenangkan, menafsir, sekaligus meneguhkan keyakinan bahwa hukum itu bisa dinegosiasikan.

“Pak Silfester ada di Jakarta,” ujarnya enteng, seolah yang dibahas bukan klien buron, tapi rekan kerja yang sedang WFH.

Lechumanan juga menyinggung gugatan Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan (ARRUKI) terhadap Kejari Jakarta Selatan yang ditolak pengadilan. Tapi entah bagaimana, ia menafsirkannya sebagai kemenangan moral yang otomatis membatalkan eksekusi.

“Artinya, eksekusi tidak perlu dilaksanakan lagi,” katanya, seolah pasal hukum bisa dihapus dengan niat baik dan sedikit kepercayaan diri.

Dan sebagai bumbu terakhir, ia menyebut pasal yang menjerat kliennya sudah kedaluwarsa.

“Peristiwa tersebut telah kedaluwarsa dan tidak patut untuk dieksekusi lagi,” ujarnya.

Kalau logika ini diterapkan secara nasional, mungkin nanti penjahat bisa bilang, “Pak, saya malingnya udah 5 tahun lalu. Masa masih diungkit?”

Ironinya, semua ini terjadi di negeri yang bangga menyebut dirinya negara hukum. Tapi hukum di sini tampaknya punya mode adaptif tajam ke bawah, lentur ke atas, dan membungkuk bila yang dihadapi punya koneksi istana.

Silfester masih bebas, jaksa masih mencari, dan publik hanya bisa tertawa getir. Barangkali benar kata orang bijak: di Indonesia, keadilan itu bukan hilang cuma nongkrong dulu di kafe, belum balik ke kantor.***

SHARE DISINI!