JAKARTA — Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim gagal menghapus status tersangkanya.
Hakim tunggal I Ketut Darpawan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak seluruh permohonan praperadilan yang diajukan Nadiem terkait kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook senilai Rp 1,98 triliun.
“Menolak permohonan praperadilan pemohon,” kata hakim Ketut dengan kalimat pendek yang lebih tajam dari esai startup manapun, saat membacakan putusan di ruang sidang utama PN Jaksel, Senin (13/10/2025).
Putusan itu otomatis membuat status tersangka Nadiem tetap sah, dan penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) bisa melanjutkan perkara tanpa perlu menunggu “update sistem” dari pihak yang dulu dikenal piawai membuat aplikasi.
Kini, transformasi digital pendidikan resmi berubah jadi transformasi yudisial:
dari ruang belajar ke ruang sidang dari Merdeka Belajar ke Merdeka Berkas.
Laptop Pendidikan, Anggaran Kolosal, dan Jejak Digital
Kasus ini bermula dari proyek pengadaan laptop Chromebook untuk program digitalisasi sekolah yang disebut-sebut menjadi tonggak “revolusi pembelajaran abad 21”.
Namun revolusi itu tampaknya lebih dulu jatuh ke tangan penyidik, setelah Badan Pemeriksa Keuangan menemukan indikasi kuat mark up dan ketidaksesuaian spesifikasi barang.
Kejagung menaksir kerugian negara mencapai Rp 1,98 triliun, angka yang cukup besar untuk pembangun ribuan sekolah atau membeli jutaan Chromebook versi eceran di marketplace.
Nadiem sendiri, yang kini berstatus mantan menteri dan mantan pendiri Gojek yang dulu sering bicara efisiensi, memilih jalur hukum untuk membantah status tersangkanya.
Argumen Nadiem: Salah Identitas dan Tidak Ada Audit
Dalam sidang praperadilan, Nadiem dan tim hukumnya memohon hakim membatalkan penetapan tersangka dengan beberapa alasan:
- Tidak ada audit kerugian negara yang sah,
- Kesalahan pencantuman identitas dalam berkas penyidikan,
- Dan proses penetapan yang dianggap tidak memenuhi unsur formil.
Singkatnya, tim hukum Nadiem menilai Kejagung “terlalu cepat menekan tombol eksekusi”, sementara mereka masih sibuk mencari “bug” prosedural dalam sistem hukum.
Sayangnya, hakim tidak menemukan error.
Semua proses penyidikan, termasuk penahanan, dinilai sudah sesuai prosedur dan sah secara hukum.
Kejagung: Semua Sesuai Prosedur, Tak Ada Patch Update Diperlukan
Dalam jawabannya di persidangan, pihak Kejaksaan Agung menegaskan seluruh tahapan penyidikan telah dilakukan sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan mekanisme internal lembaga.
Tidak ada pelanggaran administrasi, tidak ada tindakan sewenang-wenang.
Dengan demikian, penetapan tersangka tetap berlaku dan penyidikan dilanjutkan, termasuk potensi pemeriksaan lanjutan terhadap pihak-pihak lain yang terlibat
Kasus ini menjadi ironi tersendiri bagi dunia pendidikan digital. Nadiem, yang dulu mendorong transformasi sistem belajar berbasis teknologi dan efisiensi anggaran, kini justru harus menghadapi tudingan pengadaan perangkat yang efisien di atas kertas, tapi boros di realita.
Kasus ini menandai babak baru hubungan antara idealisme digital dan tanggung jawab publik.
Di ruang startup, kesalahan dianggap bagian dari proses belajar. Namun di ruang sidang, kesalahan bisa berubah menjadi pasal berlapis.
Setelah ini, mungkin negara tak lagi butuh “founder inspiratif”, tapi administrator akuntabel yang bisa membuat laporan keuangan sebersih tampilan antarmuka aplikasi yang dulu membuat Nadiem terkenal.***