Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Narasi Trans 7 tentang Ponpes Lirboyo memantik amarah publik. Mengguncang ruang sosial hingga parlemen. Tayangan Trans 7 itu bisa bisa membentuk opini: “pesantren itu feodal”. “Budaya pesantren ekploitasi santri”. “Kyainya memperkaya diri”. Dan lain-lain.
Alumi Ponpes Lirboyo melakukan reaksi keras. Demonstrasi Trans 7-hingga parlemen. Muncul sejumlah opini: reaksi alumni ponpes itu berlebihan.
Benarkah demikian?. Sikap alumni Lirboyo itu berlebihan?. Mari kita bedah secara multi perspektif.
Beberapa pesantren (termasuk besar dan ternama) bisa saja memiliki praktik budaya atau individu menyimpang dari nilai ideal Islam. Misalnya kasus kekerasan, penyalahgunaan otoritas, atau sistem pengawasan yang lemah.
Namun, tidak berarti seluruh pesantren harus dicitrakan negatif karena sebagian kasus. Dalam sosiologi, disebut fallacy of composition kesalahan menyamaratakan bagian ke keseluruhan.
Pesantren seperti Lirboyo merupakan lembaga sosial-keagamaan dengan akar budaya panjang. Ada nilai ta’dzim (hormat), hikmah (kebijaksanaan), dan tarbiyah (pembentukan moral).
Seringkali tidak dipahami media sekuler modern. Maka sering terjadi benturan epistemologis: logika jurnalistik serba cepat dan sensasional bertemu logika pesantren yang kontemplatif dan hirarkis.
Sementara itu media (termasuk Trans 7) memiliki fungsi ideal. Memberi informasi, mengawasi kekuasaan (watchdog), menjadi ruang publik diskusi, mengedukasi masyarakat.
Namun (tidak jarang), praktiknya media memiliki dimensi ekonomi dan ideologis. Media adalah industri. Ia mencari rating, klik, dan sensasi. Bukan semata kebenaran substantif. Ia bisa menjadi alat kekuasaan atau kapital. Untuk kepentingan politik, ekonomi, maupun ideologi tertentu.
Beberapa teori Komunikasi dan Media Kritis menjelaskan: media bisa membentuk, memanipulasi, atau mendistorsikan realitas sosial.
Teori Hegemoni (Antonio Gramsci): media sering menjadi alat hegemoni kelas dominan. Jika pesantren dipandang mengancam “narasi modernitas” atau “arus utama”. Media dapat membingkainya secara negatif untuk mempertahankan dominasi budaya sekuler.
Teori Konstruksi Sosial atas Realitas (Peter L. Berger & Thomas Luckmann): realitas sosial tidak bersifat objektif, melainkan dikonstruksi manusia, termasuk oleh media. Teori Agenda Setting (McCombs & Shaw): media massa tidak secara langsung memberitahu publik apa yang harus dipikirkan, tetapi isu apa yang perlu dipikirkan.
Teori Framing (Goffman, Entman): media menggunakan bingkai (frame) tertentu untuk menafsirkan realitas. Teori Spiral of Silence (Elisabeth Noelle-Neumann): media dominan memproduksi narasi Tunggal. Pihak berbeda pandangan (misal: kalangan pesantren) bisa diam karena takut dikucilkan.
Teori Ekonomi Politik Media (Vincent Mosco, Herman & Chomsky): media tidak netral; ia tunduk pada struktur ekonomi dan kepentingan pemilik modal. Jika pemilik media memiliki kepentingan tertentu (politik, ekonomi, ideologi), maka pemberitaan bisa diarahkan untuk mendiskreditkan pihak yang dianggap mengganggu kepentingan tersebut.
Teori Propaganda dan Manipulasi Persepsi (Jacques Ellul, Edward Bernays): media bisa menjadi sarana propaganda modern-bukan dengan kebohongan frontal, tapi dengan seleksi, framing, dan penekanan emosional. “Kebenaran parsial” disajikan sehingga publik merasa telah tahu segalanya. Padahal konteksnya disembunyikan.
Secara etis, media tidak boleh menggunakan kekuasaan informasinya mendiskreditkan pihak lain tanpa verifikasi dan keseimbangan informasi (cover both sides).
Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJ) menegaskan jurnalis wajib mengutamakan akurasi, independensi, dan itikad baik. Jika media hanya menyoroti sisi buruk pesantren tanpa ruang klarifikasi atau konteks, itu pelanggaran etika serius.
Kritik media terhadap pesantren bukan hanya boleh. Bahkan harus. Jika ada dugaan pelanggaran atau ketidakadilan dalam pesantren.
Tidak dibenarkan adalah framing sepihak, generalization terhadap seluruh pesantren, nada sinis yang mendiskreditkan tradisi keagamaan. Tidak dibenarkan pula pemanfaatan isu untuk kepentingan ekonomi/politik tertentu.
Pesantren maupun media sama-sama memegang kekuasaan sosial. Pesantren memegang kekuasaan moral dan simbolik. Media memegang kekuasaan informasi dan opini publik. Keduanya harus sama-sama transparan, akuntabel, dan terbuka terhadap kritik.
Jika media menggunakan kekuatannya membentuk persepsi negatif tanpa keseimbangan. Ia melampaui fungsinya sebagai “penyeimbang kekuasaan”. Berubah menjadi alat kekuasaan baru yang justru perlu dikritisi.
Apa protes keras para alumni pondok itu dibenarkan. Tidak melampaui batas?.
Etika sosial mengajarkan “hak atas kehormatan (dignity) adalah nilai fundamental”. Jika suatu kelompok dalam hal ini pesantren Lirboyo merasa dilecehkan, disalahpahami, atau diframing secara buruk.
Mereka memiliki hak moral meluruskan citra, membela diri secara terbuka, menyampaikan protes secara damai. Ini sejalan dengan prinsip “moral self-defense”. Pembelaan terhadap harga diri dan reputasi yang dirusak oleh pihak lain.
Demonstrasi adalah hak konstitusional (Pasal 28E UUD 1945). Dibenarkan dari perspektif moral ketika dilakukan secara damai dan beradab. Tidak bertujuan membalas dendam. Bertujuan untuk menegakkan kebenaran atau keadilan informasi.
Menurut Habermas (Rasionalitas Komunikatif), tindakan yang benar secara moral adalah tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam diskursus rasional publik. Ialah ruang di mana semua pihak bisa berbicara setara.
Jika Trans 7 menggunakan kekuasaannya memproduksi wacana sepihak, demo santri adalah usaha mengembalikan keseimbangan ruang diskursus publik. Agar pesantren didengar. Artinya, demo bukan irasional. Melainkan bagian dari proses komunikasi demokratis untuk memulihkan dialog yang timpang.
Fraser (Ketidakadilan Simbolik) menyebut dalam masyarakat modern sering terjadi “misrecognition”. Ketika kelompok tertentu (seperti komunitas religius tradisional) disepelekan atau direpresentasikan secara tidak adil dalam media modern.
Demo para santri bisa dibaca sebagai resistensi terhadap ketidakadilan simbolik: mereka menuntut agar cara pandang dan nilai-nilai pesantren tidak direduksi dengan kacamata sekuler atau sensasional.
Teori Kritis dan Resistensi Kultural (Stuart Hall, Raymond Williams): media tidak netral; ia mereproduksi ideologi dominan. Jika pesantren merasa diframing dengan cara yang menempatkan mereka sebagai “tradisional, kolot, atau terbelakang,”.
Protes publik menjadi bentuk counter-hegemony. Perlawanan terhadap narasi dominan media. Secara rasional dan teoritik, ini adalah bentuk resistensi kultural yang sah terhadap dominasi simbolik media massa.
Demo para santri/alumni Ploso terhadap Trans 7 dapat dibenarkan secara moral dan teoritik. Dalam demokrasi modern itu bukan terkategori perlawanan terhadap media. Melainkan koreksi moral atas penyalahgunaan kekuasaan media.
• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)