Scroll untuk baca artikel
Opini

Ditjen Pesantren: Transformasi Indigenous-Hibryd

×

Ditjen Pesantren: Transformasi Indigenous-Hibryd

Sebarkan artikel ini
Menara kembar pada masjid di Pondok Pesantren Babussalam Al Amin berdiri kokoh dengan ketinggian mencapai 125
Menara kembar masjid di Pondok Pesantren Babussalam Al Amin berdiri kokoh dengan ketinggian mencapai 125 di Desa Toba, Sekampung Udik, Lampung Timur

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 26/10/2025

WAWAINEWS.ID – “Presiden Prabowo menyetujui pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren (Ditjen Pesantren).” Tulis sejumlah media. Sebagai “kado Hari Santri Nasional 2025”. Sekaligus pengakuan negara terhadap ekosistem pesantren atas peran historis terhadap eksistensi Indonesia.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Wamenang menjelaskan urgensi Ditjen itu.

Pesantren memiliki fungsi luas: “pendidikan, dakwah, pemberdayaan masyarakat”. Secara kuantitatif sangat besar. Lebih 42 ribu lembaga. Jutaan santri dan ustadz. Akan tetapi dukungan kebijakan dan regulasi untuk pesantren belum maksimal.

Anggaran pendidikan di Indonesia Rp. 612 triliun. Pendidikan pesantren hanya menerima 0,14%. Belum sebanding dengan kontribusinya.

Mari kita lihat akar historis dan kategorisasi Pondok Pesantren.

Secara penyebutan dibentuk dua kata yang memiliki akar historis berbeda. Pondok dan Pesantren.

Istilah pondok, terkait atau bersisiran dengan kebiasaan atau sub sistem perekonomian pada abad pertengahan. Pada era itu di Eropa dikenal Gilda. Ialah perkumpulan atau organisasi para pedagang atau pengrajin. Fungsinya melindungi kepentingan ekonomi anggotanya.

Pondok berasal dari kata Arab Funduk/Funduq. Artinya penginapan atau rumah singgah dagang. Istilah itu populer dalam dunia Islam. Khususnya Mediterania.

Islam di Nusantara berkembang melalui perinteraksian perdagangan. Selain pedagang muslim, masuk pula kolonialis Eropa. Tradisi Gilda dan Funduq bersisiran pada penduduk Nusantara.

Pesantren artinya tempat para santri. Sedangkan santri (Shastri=Sansekerta) artinya “orang yang mempelajari kitab suci”. Cak Nur (Dr. Nurcholish Madjid) juga menduga kata santri berasal dari bahasa Tamil: santiri atau shantir. Artinya “orang yang melek huruf” atau “pelajar”. Dalam Bahasa Jawa Kuno, Santri berdekatan dengan istilah “Cantrik”. Artinya Siswa.

Dalam tradisi Jawa kuno, dikenal juga Padhepokan. Tempat seorang resi, pendeta, guru spiritual, atau empu tinggal dan mengajar para muridnya.

Berdasar beragam kemungkinan akar historis dan epistimologis itu, Pondok Pesantren bisa diartikan tempat menetap orang-orang yang mempelajari kitab suci dalam tradisi Islam Nusantara. Merupakan transformasi konsep Padhepokan yang bersisiran dengan istilah atau sistem kosmopolit.

Berdasar kajian akademik terkini, Pondok Pesantren diklasifikasikan menjadi tiga tipe. Pesantren indigenous (salafiyah), formalistik (modern/khalafiyah), Hibrid.

Pesantren indigenous / tradisional (salafiyah) fokus pengajian kitab kuning, sistem sorogan–bandongan. Sedikit atau tanpa pendidikan formal. Jumlahnya ± 43% dari total pesantren. Inilah Pondok Pesantren original Indonesia yang berjasa sebagai penyemai ajaran Islam sekaligus nasionalisme.

Perlawanan-perlawanan terhadap penjajah muncul dari sini. Strateginya non kooperasi. Tidak bekerjasama dengan kolonial. Itulah sebabnya, menurut sinyalemen Cak Nur, produk pesantren tidak adaftif menjadi pelaksana birokrasi ketika Indonesia merdeka. Sistem pendidikannya tidak mengadopsi sistem pendidikan Belanda yang kemudian dijadikan syarat untuk masuk birokrasi pemerintahan.

Pesantren formalistik / Modern (Khalafiyah). Merupakan sistem pedidikan yang mengadopsi sistem sekolah formal (MTs/MA/SMA/SMK). Menerapkan disiplin ketat. Kurikulum umum dan bahasa asing di perkuat. Jumlahnya ± 28% dari pesantren secara keseluruhan. Kelemahannya terlepas atau tidak disiplin dari khasanah keilmuan klasik Islam bersanad.

Hibrid (gabungan salaf & khalaf). Mengombinasikan pengajian kitab kuning dengan sistem pendidikan formal modern. Jumlahnya ± 29%. Dari total pesantren.

Pesantren hibrid menjadi tren meningkat sejak 2015. Banyak pesantren salaf menyesuaikan diri dengan kurikulum nasional dan kebutuhan masyarakat modern. Tanpa melepaskan muatan materi kilmuan Islam Klasik.

Pesantren formalistik tumbuh pesat di kota besar dan wilayah dengan akses pendidikan tinggi. Termasuk menjamurnya Sekolah Islam Terpadu (SIT). Sedangkan pesantren indigenous masih dominan di pedesaan Jawa, Madura, NTB, dan sebagian Sumatra.

Berdasar data itu, secara kuantitif pesantren Formalistik lebih sedikit dibanding pesantren Hibrid. Artinya minat untuk tidak lepas dari tradisi keilmuan klasik masih tinggi.

Di sini letak urgensi Ditjen Pesantren. Memandu sekaligus memberi dukungan kebijakan pesantren-pesantren salaf yang sangat berjasa pada negara untuk bertrasformasi menjadi pesantren Hibrid. Jumlahnya 72 persen dari totral pesantren yang ada.

Transformasi itu untuk memenuhi kebutuhan umat agar tetap memiliki akses mempelajari khasanah keilmuan klasik bersanad. Sekaligus memiliki akses pada keilmuan modern. Sisiran dua sistem itu menjadi pilar penting pembangunan peradaban Islam. Realitasnya, khasanah keilmuan klasik bersanad diikuti mayoritas ummat Islam global.

Bagi Indonesia, kelompok ini akan menjadi perekat dengan komunitas muslim moderat global. Oleh kesamaan pandangan dan tradisi keagamaan.

• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)