KOTA BEKASI – Skenarionya ternyata persis seperti dugaan publik: tidak ada sanksi, tidak ada pemanggilan, dan tentu saja tidak ada rasa bersalah.
Sejumlah kepala sekolah di Kota Bekasi yang sempat “plesiran berjamaah” ke Yogyakarta dengan dalih rapat kerja (raker) pekan lalu, kini seolah bebas dari segala tanggung jawab.
Janji pemanggilan dari Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bekasi pun, lagi-lagi, tinggal janji manis yang larut bersama kopi sore para pejabat.
Janji Tinggal Janji, Pemanggilan Menguap Seperti Angin AC Dinas
Padahal, sebelumnya beberapa pejabat Disdik termasuk Sekretaris Dinas dengan gagah berani menegaskan akan memanggil para kepala sekolah “raker rasa refreshing” tersebut.
Namun, ketika Senin (3/11/2025) tiba, keberanian itu mendadak menguap, entah terbawa angin Yogyakarta atau tertinggal di grup WhatsApp internal dinas.
Tidak ada sanksi, tidak ada klarifikasi resmi, bahkan tidak ada tanda-tanda penegakan disiplin.
Yang tersisa hanyalah diam seribu basa-basi.
“Kalau pun ada pemanggilan, paling cuma kumpul-kumpul, ngopi bareng, lalu pulang. Reuni sahabat lah,” ujar seorang guru dengan nada getir kepada wawai news sebelumnya sudah mengira.
Raker Beraroma Wisata: Kepala Sekolah Jadi Turis Jam Kerja
Kegiatan “raker” ini awalnya diinisiasi oleh Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) dari sejumlah kecamatan, termasuk K3S Pondok Melati.
Agenda resmi: rapat kerja. Agenda tersirat: selfie, santai, dan sedikit curhat tentang beban kerja ASN sambil menikmati gudeg.
Masalahnya, kegiatan itu dilakukan pada jam kerja, dan yang lebih fatal tanpa izin resmi dari Disdik maupun BKPSDM Kota Bekasi.
Aturan kepegawaian jelas menyebut: ASN dilarang meninggalkan tugas tanpa izin pimpinan. Tapi tampaknya aturan itu kalah pamor dibanding tiket rombongan ke Yogyakarta.
Disdik “Sibuk”, Tapi Tak Sibuk Menegakkan Aturan
Saat dimintai konfirmasi, jajaran Disdik Kota Bekasi serentak menyanyikan lagu lama: “Maaf, sedang sibuk.”
Mulai dari Kepala Dinas hingga Sekdis, semua mengaku tengah dikejar agenda dinas lain kecuali mungkin agenda menegakkan disiplin.
Hanya Kepala Bidang Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK), Wijayanti, yang sempat menjawab.
Namun jawabannya pun lebih mirip episode sinetron berjudul “Besok Aja, Bang” hari ini selasa-ed.
“Saya hari ini ditugaskan ke Depok. Pemanggilan dengan Pak Jamal Kasubag Kepegawaian,” tulisnya lewat WhatsApp kemarin Senin.
Tak lama berselang, muncul pesan baru: “Barusan saya konfirmasi, pemanggilannya jadinya besok (hari ini-ed) bang.”
“Besok,” sebuah kata yang dalam birokrasi berarti mungkin tidak akan pernah terjadi.
Disiplin ASN: Antara Teori di Raker dan Praktik di Lapangan
Situasi ini mencoreng wajah Disdik Kota Bekasi yang seharusnya menjadi penjaga moral, bukan penjaga meja kosong. Ketika para kepala sekolah yang notabene digugu dan ditiru bisa pergi di jam kerja tanpa izin, pesan moral apa yang tersisa untuk para guru dan murid?
Apakah nanti kalau murid bolos sekolah bisa berdalih, “Kami cuma raker ke kantin, Bu, sambil menyusun strategi ujian”?
Krisis Kepercayaan: Ketika Diam Lebih Nyaring dari Teguran
Kelembekan sikap Disdik ini menambah daftar panjang krisis kepercayaan publik terhadap birokrasi pendidikan di Kota Patriot.
Alih-alih menjadi pelopor keteladanan, institusi ini kini terlihat lebih nyaman dalam posisi aman: diam.
Tak ada investigasi, tak ada evaluasi, hanya keheningan administratif yang rapi.
Sementara publik bertanya:
“Kalau yang melanggar guru langsung disanksi, tapi kalau kepala sekolah yang keluyuran, kenapa bisa adem ayem?”
Kasus ini kini menjadi ujian moral bagi kepemimpinan Disdik Kota Bekasi. Publik tak menuntut drama besar, hanya ingin bukti kecil bahwa disiplin ASN bukan sekadar kutipan di spanduk dan sambutan upacara.
Sebab kalau semua pelanggaran berujung “nanti juga reda sendiri,” maka cepat atau lambat, sekolah-sekolah di Bekasi bukan hanya kehilangan wibawa, tapi juga arah.***












