Scroll untuk baca artikel
Head LineZona Bekasi

LINAP Ungkap Pasar Semi Induk Pondok Gede Berdiri di Atas Tanah Warga yang Belum Dibayar

×

LINAP Ungkap Pasar Semi Induk Pondok Gede Berdiri di Atas Tanah Warga yang Belum Dibayar

Sebarkan artikel ini
Suasana di Pasar Semi Pondok Gede, Kota Bekasi yang berdiri diatas lahan sengketa seluas 4500 meter persegi - foto doc

KOTA BEKASI — Lembaga Investigasi Anggaran Publik (LINAP) mengungkap bahwa Pasar Semi Induk Pondok Gede yang dikelola oleh Pemerintah Kota Bekasi itu ternyata berdiri di atas tanah milik warga yang belum dibayar dan kini berstatus sengketa.

Ketua DPP LINAP, Baskoro, menyatakan bahwa hal itu berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung Nomor 315 PK/Pdt/2025, Mahkamah Agung menolak permohonan Pemerintah Kota Bekasi dan menegaskan tanah seluas 4.500 meter persegi di Kelurahan Jatirahayu, Kecamatan Pondok Melati, merupakan milik sah ahli waris almarhum Hamid bin Adah.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

“Berdasarkan fakta hukum yang sangat jelas, Pasar Semi Induk Pondok Gede berdiri di atas lahan warga yang belum dikembalikan maupun dibayar oleh pemerintah. Putusan Mahkamah Agung sudah final dan mengikat. Tidak ada lagi alasan untuk tidak melaksanakan,” tegas Baskoro, Ketua LINAP, dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Selasa (4/11/2025).

Baskoro menjelaskan, dalam putusan tersebut, Majelis Hakim Mahkamah Agung menyatakan Pemerintah Kota Bekasi telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum Pemkot Bekasi untuk:

  • Mengembalikan tanah objek sengketa seluas 4.500 m², Girik C No. 9 Persil 11 atas nama Hamid bin Adah, di Jalan Raya Hankam, Jatirahayu, Pondok Melati, Kota Bekasi;
  • Membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp5 juta per hari atas setiap keterlambatan penyerahan tanah sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
BACA JUGA :  LINAP Apresiasi Langkah Pj Wali Kota Bekasi Batalkan Proyek PSEL di Sumur Batu

“Artinya, sejak April 2025, Pemkot Bekasi seharusnya sudah mengembalikan tanah itu dalam keadaan kosong, bersih, dan tanpa syarat. Tapi hingga kini belum juga dilaksanakan,” ujarnya.

LINAP mencatat, akibat keterlambatan eksekusi putusan, denda keterlambatan (dwangsom) telah mencapai sekitar Rp1. 770.000.000 hingga awal November 2025.

Menurut Baskoro, kondisi ini justru dapat memperbesar potensi kerugian keuangan negara karena bersumber dari tanggung jawab pemerintah daerah.

“Kalau Pemkot terus menunda, bukan hanya melanggar hukum, tapi juga membebani anggaran daerah. Ini jelas kelalaian administratif yang bisa berujung pada dugaan penyalahgunaan wewenang,” tegasnya.

LINAP juga mendesak DPRD Kota Bekasi, terutama Komisi II yang membidangi sektor pasar dan ekonomi daerah, untuk ikut menindaklanjuti putusan ini dan memastikan hak-hak ahli waris dipenuhi sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Selain itu, LINAP meminta aparat penegak hukum (APH), termasuk kejaksaan dan kepolisian, turut memeriksa proses hukum dan administratif dalam kasus lahan pasar tersebut.

“Kita bicara soal aset publik yang berdiri di atas lahan pribadi. Harus ada keberanian hukum untuk menegakkan keadilan. Jangan sampai persoalan ini ditutup-tutupi,” kata Baskoro.

Kronologi Singkat: Dari Pinjam Pakai ke Sengketa

Tanah tersebut awalnya milik almarhum Hamid bin Adah berdasarkan Girik C Nomor 9 Persil 11. Pada 1973, lahan itu dipinjam pakai oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk membangun Pasar Sederhana Pondok Gede.

BACA JUGA :  Pelaku Pembunuhan Bos Toko Sembako di Bekasi Ditangkap Polda Metro Jaya

Perjanjian pinjam pakai berakhir pada 1991, namun tanah tidak dikembalikan kepada ahli waris, dan pemerintah tetap menguasai lahan hingga kemudian berdiri Pasar Semi Induk Pondok Gede.

Kemudian salah satu ahli waris, Hadi Surya, menggugat Pemerintah Kota Bekasi pada 2022. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 139/Pdt.G/2022/PN Bks, hakim menyatakan Pemkot Bekasi bersalah dan menghukum pemerintah membayar ganti rugi Rp11,2 miliar (Rp6,2 miliar materiil dan Rp5 miliar immateriil).

Putusan tersebut kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung (Nomor 101/Pdt/2023/PT BDG) dan Mahkamah Agung dalam kasasi (Nomor 3103 K/Pdt/2023). Terakhir, PK yang diajukan Pemkot Bekasi pada 2024 ditolak melalui Putusan Nomor 315 PK/Pdt/2025 pada 17 April 2025.

Dalih Bukti Baru Ditolak

Dalam upaya PK-nya, Pemkot Bekasi mengajukan sejumlah dokumen sebagai bukti baru (novum), seperti:

  • Surat Penyerahan Barang Inventaris tahun 1998,
  • Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI tahun 2022–2023,
  • Keterangan ahli keuangan negara dan ahli pajak,
  • Surat keterangan notaris tahun 2024.

Namun, Mahkamah Agung menyatakan seluruh novum tersebut tidak memenuhi syarat hukum karena dibuat setelah perkara diputus dan tidak mengubah fakta pokok sengketa.

BACA JUGA :  Forkorindo Resmi Laporkan Dugaan Korupsi PJU Bekasi: “Anggaran Miliaran, Lampu Jalan Tetap Remang”

Majelis hakim menegaskan bahwa penguasaan lahan oleh pemerintah tanpa dasar hukum yang sah merupakan bentuk perbuatan melawan hukum.

Hentikan Pembiaran, Jalankan Putusan

Baskoro menegaskan, LINAP akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas dan memastikan pemerintah daerah mematuhi putusan pengadilan. Menurutnya, penundaan eksekusi sama saja dengan mengabaikan supremasi hukum.

“Pemerintah harus memberi teladan, bukan justru melawan hukum. Kasus ini menyangkut hak warga yang sudah menunggu puluhan tahun. Kami tidak ingin ada praktik pembiaran seperti ini,” pungkas Baskoro.

Dengan ditolaknya Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung, seluruh amar putusan sebelumnya yang memenangkan Hadi Surya dan ahli waris Hamid bin Adah kini berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Pemerintah Kota Bekasi diwajibkan:

  • Mengembalikan tanah seluas 4.500 m² di Jatirahayu, Pondok Melati,
  • Membayar ganti rugi total Rp11,2 miliar,
  • Membayar denda keterlambatan Rp5 juta per hari,
  • Menanggung biaya perkara di semua tingkat peradilan.

LINAP menilai kasus ini sebagai contoh nyata lemahnya tata kelola aset daerah dan minimnya kesadaran hukum pemerintah daerah.
Lembaga tersebut menyerukan agar semua pihak pemerintah, DPRD, dan aparat hukum berpihak pada keadilan rakyat, bukan pada kepentingan birokrasi.

“Kalau pemerintah saja tidak patuh pada hukum, bagaimana rakyat bisa percaya pada keadilan?” tutup Baskoro.***