Scroll untuk baca artikel
Internasional

Membaca Sosok Zohran Mamdani: Gelombang Baru atau Eksperimen Berisiko di Kota New York?

×

Membaca Sosok Zohran Mamdani: Gelombang Baru atau Eksperimen Berisiko di Kota New York?

Sebarkan artikel ini
Zohran Mamdani telah mengukir sejarah dengan menjadi wali kota Muslim pertama di Kota New York, sekaligus yang termuda dalam lebih dari satu abad. - foto net

WAWAINEWS.ID – Pada 4 November 2025, sejarah tercatat di gedung pemungutan suara kota terbesar di Amerika Serikat: Zohran Mamdani, berusia 34 tahun, terpilih sebagai wali kota New York City. Dia bukan hanya warga kota biasa, ia adalah muslim pertama, orang Afrika-lahir (Uganda), keturunan Asia Selatan, dan juga yang termuda dalam lebih dari satu abad menjadi wali kota di kota metropolis ini.

Kemenangan ini bukan sekadar pesta politik lokal melainkan titik tolak potensi perubahan sistemik dalam politik urban Amerika. Namun seperti semua momen besar, di balik sorak-sorai ada keraguan, pertanyaan, dan bayangan risiko.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Apa yang Membuat Mamdanti Menarik

  1. Latar belakang pribadi yang kuat: Lahir di Kampala, Uganda, dan dibesarkan di New York, Mamdani membawa narasi imigran, minoritas, dan kelas pekerja ke panggung politik utama.
  2. Platform agresif terhadap keterjangkauan hidup: Ia mengusung janji-janji besar misalnya bus gratis, beku sewa, toko kelontong milik kota, penitipan anak universal, dan peningkatan besar produksi perumahan terjangkau.
  3. Gerakan akar rumput yang kuat: Kampanyenya didukung ribuan relawan, donasi kecil-kecil, dan strategi digital yang agresif menandakan gelombang baru politik progresif di kota besar.
  4. Mengirim isyarat kepada Demokratis dan Republik: Partai Demokrat tradisional harus menghadapi kenyataan bahwa konstituennya terutama generasi muda dan minoritas ingin lebih dari sekadar manajemen; mereka ingin transformasi.
BACA JUGA :  Trump Adu Mulut dengan Presiden Ukraina, Berujung Pengusiran Zelensky dari Gedung Putih

Area Keraguan dan Tantangan

  1. Tuduhan “terlalu radikal, kurang pengalaman”: Mantan gubernur Andrew Cuomo dan beberapa kalangan menyoroti bahwa kota sebesar New York, dengan anggaran sekitar US$115 miliar dan struktur pemerintahan yang rumit, bukan tempat untuk “uji coba pemimpin muda”.
  2. Ketakutan pasar & kelas atas: Polling menunjukkan sekitar 26 % warga kota mempertimbangkan pergi jika Mamdani menang karena khawatir visinya akan “mengubah kota secara mendasar”.
  3. Benturan ideologi yang keras: Label “sosialis demokratis” yang ia gunakan memicu serangan termasuk dari Donald Trump yang menyebutnya “100 % communist lunatic”. Padahal menurut fakta, Mamdani tidak mengusung komunisme klasik dan bukan musuh pasar secara total.
  4. Janji besar = ekspektasi besar: Ketika program-program seperti “beku sewa” atau “toko milik kota” diusung, maka resiko kegagalan besar kalau implementasi mandek. Kritik dari media seperti The New York Times sudah muncul bahwa gagasannya “mungkin tidak sesuai dengan tantangan kota”.
BACA JUGA :  Begini Sosok Komandan Perang Hamas Berjuluk Kucing 9 Nyawa

Arti & Implikasi yang Lebih Luas

Mamdani bukan hanya jadi sosok wali kota baru ia mewakili tiga perubahan sekaligus:

  • Perubahan generasi: dari elite politik lama ke pimpinan muda yang mengawinkan digital, identitas minoritas, dan mobilisasi massa.
  • Perubahan identitas: kota besar yang dulu dikelola oleh “mesin politik” mulai memberi ruang bagi suara yang selama ini marjinal.
  • Perubahan arah kebijakan: dari “stabilitas pengelolaan” ke “agenda keterjangkauan dan keadilan ekonomi”.

Apabila Mamdani berhasil mengimplementasikan sebagian besar janji-kampanyenya, maka ia bisa menjadi laboratorium politik bagi seluruh Amerika khususnya di kota-kota besar yang menghadapi krisis biaya hidup dan ketimpangan sosial.

Di sisi lain, jika gagalnya terlalu mencolok, maka pelajaran politik yang diambil bisa menjadi peringatan bagi gelombang progresif: bahwa dalam pemerintahan nyata, idealisme bertemu birokrasi, anggaran, dan konflik kekuasaan.

BACA JUGA :  Kim Jong Un Melarang Warganya Tertawa Sebelas Hari

Zohran Mamdani adalah fenomena, bukan sekadar kandidat. Dia adalah percobaan politik terbesar Kota New York dalam satu abad terakhir imigran, minoritas, instruktor akar rumput, dan pemimpin muda semua dalam satu paket.

Ia membawa harapan untuk jutaan orang yang “tergantung” oleh kota yang kini terasa semakin mahal dan jauh.

Tapi seperti semua harapan besar ada risiko gagal besar juga. Kota New York pun bukan hanya papan tulis kosong: struktur institusinya berat, kepentingan elit padat, dan perubahan radikal bisa memakan korban.

Namun pada akhirnya: kemenangan Mamdani adalah suara “kita sudah cukup menunggu”. Tugasnya sekarang bukan hanya memenangkan pemilihan, tetapi mewujudkan janji-janji yang memperbaiki kehidupan sehari-hari warga.

Karena ketika wali kota adalah “orang kita”, maka tuntutan untuk kerja nyata menjadi dua kali lipat besar.***