BEKASI — Proyek Normalisasi dan Bendung Pintu Sungai BSH–CBL yang semestinya membuat aliran air lebih tertib, justru membuat para petani di Bekasi Utara mengalir ke Kejaksaan Agung. Pekerjaan yang dikerjakan PT Basuki Rahmanta Putra (BRP) dan PT Nauli Lestari Jaya itu dinilai petani sebagai proyek “asal jadi, asal selesai, dan asal banjir”.
Para petani yang tergabung dalam Penggerak Gotong Royong (PGR) terdiri dari 18 desa dan 6 kecamatan Wilayah Utara secara resmi telah melayangkan laporan terkait amburadulnya proyek tersebut ke Kejaksaan Agung RI pada Kamis, 13 November 2025 lalu.
Para petani dari 18 desa di enam kecamatan kompak menilai pelaksanaan proyek yang dikerjakan PT Basuki Rahmanta Putra (BRP) dan PT Nauli Lestari Jaya disebut serampangan dalam pelaksanaannya, mulai dari pintu air yang tak kunjung diperbaiki, sedimentasi lumpur yang tak digarap tuntas, tanggul jebol di berbagai titik, hingga aliran tersier yang mandek tak berfungsi.
“Normalisasi ini mirip seperti mie instan, cepat, tapi hasilnya kadang mengecewakan. Yang ini sih lebih parah, cepat banjirnya.”tegas Ketua PGR, Ust. Jejen Jaenudin, melalui rilis resmi yang diterima Wawai News, Jumat 20 November 2025.
Ia mengaku pada Kamis kemarin 20 November, mereka telah diundang audiensi dengan Puspenkum Kejagung berjalan bersahabat. Lukman dan Hadi menerima laporan petani dengan serius karena menyangkut ketahanan pangan.
Dikatakan bahwa dalam audiensi tersebut, Kejagung meminta petani menyiapkan dokumen proyek dari nol hingga akhir. Sebuah sinyal halus, kalau semua data sudah lengkap, penyelidikan bukan lagi soal “akan”, tapi “kapan”.
“Respons mereka baik. Karena ini menyangkut ketahanan pangan, sesuai Inpres No. 2 Tahun 2025,” ujar Ketua PGR, Ust. Jejen, yang menegaskan bahwa laporan ini bukan sekadar keluhan musiman, tetapi tuntutan agar pemerintah hadir sebelum sawah berubah total menjadi kolam.
Menurut Jejen, proyek normalisasi saat ini memang masih berjalan, namun tinggal hitungan minggu. “Justru itu. Kami mengirimkan surat cepat-cepat agar ada pengawasan, pencegahan, dan penegakan hukum sebelum semuanya keburu dicap ‘proyek selesai’ padahal pekerjaan banyak tidak beres,” sindirnya.
Kabar terbaru lanjutnya menyebutkan bahwa laporan tersebut telah diteruskan ke JAMPIDSUS, dan sedang dalam tahap kajian awal untuk kemungkinan pembentukan tim khusus.
Artinya, bola kini ada di meja para penyidik, apakah proyek ini hanya ‘kurang rapi’ atau ada aroma-aroma pelanggaran yang lebih serius?
Sementara para petani berharap pemerintah pusat dan daerah tidak hanya jadi penonton dari kejauhan. Turun, cek, evaluasi, dan jika perlu beri sanksi. Toh program ini bukan muncul tiba-tiba, tetapi buah dari perjuangan panjang mereka.***













