Scroll untuk baca artikel
Opini

Status “Bencana Nasional” Aceh Tidak Relevan

×

Status “Bencana Nasional” Aceh Tidak Relevan

Sebarkan artikel ini
foto suasana banjir bandang dan longsor di Sumbar

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

WawaiNEWS.id – Setiap bencana besar hampir selalu diikuti tuntutan agar pemerintah menetapkan status bencana nasional. Aceh tidak terkecuali. Di ruang publik, label tersebut kerap dipahami sebagai ukuran kehadiran negara. Seolah tanpa status nasional, negara belum bekerja sepenuhnya. Belum menunjukkan keseriusannya.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Pandangan semacam ini wajar secara emosional. Namun problematis jika dilihat dari sudut pandang hukum, tata kelola pemerintahan, dan realitas teknis penanganan bencana. Dalam konteks Aceh saat ini, tuntutan penetapan status bencana nasional justru semakin kehilangan relevansinya.

Secara normatif, konsep bencana nasional di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang ini tidak menempatkan status bencana nasional sebagai simbol moral atau politik. Melainkan sebagai instrumen administratif untuk mengaktifkan mekanisme pemerintahan luar biasa ketika kapasitas daerah benar-benar kolaps.

Bencana nasional dipahami sebagai kondisi yang dampaknya melampaui kemampuan pemerintah daerah dan provinsi. Menimbulkan gangguan serius terhadap sistem pemerintahan. Membutuhkan pengambilalihan komando dan sumber daya secara penuh oleh pemerintah pusat. Status nasional bukanlah tujuan. Melainkan alat yang dipakai ketika mekanisme normal tidak lagi memadai.

Masalahnya, kondisi Aceh saat ini tidak sepenuhnya berada dalam kategori itu. Pemerintahan daerah tetap berjalan, struktur birokrasi tidak runtuh, dan fungsi administrasi publik masih beroperasi. Lebih penting lagi, tanpa penetapan status bencana nasional sekalipun, pemerintah pusat secara faktual telah mengerahkan hampir seluruh potensi nasional yang relevan.

BACA JUGA :  Bunuh Diri Ala Benny Rhamdani

Dalam hitungan hari sejak bencana, pengerahan sumber daya dilakukan secara masif dan lintas sektor. Jika dihitung secara akumulatif lintas instansi dan lintas hari operasi, jumlah personel gabungan TNI, Polri, BNPB, Basarnas, kementerian teknis, dan relawan nasional mendekati puluhan ribu orang. Bahkan nyaris menyentuh angka lima puluh ribu personel di seluruh wilayah terdampak.

TNI tidak hanya mengerahkan pasukan kewilayahan, tetapi juga satuan zeni tempur dengan kelengkapan alat berat, jembatan bailey, ponton, dan perangkat konstruksi darurat. Puluhan jembatan strategis yang menjadi penghubung antar kecamatan dan antar kabupaten dilaporkan putus atau rusak berat. Sebagian di antaranya kehilangan fondasi akibat tergerus arus.

Di sektor udara, helikopter TNI AD, TNI AU, Polri, dan BNPB dioperasikan secara intensif. Jumlah wahana udara yang terlibat baik yang siaga maupun yang beroperasi bergiliran mencapai puluhan unit. Terdapat ratusan sortie penerbangan kumulatif untuk distribusi logistik, evakuasi medis, pemetaan wilayah terisolasi, dan mobilisasi personel.

Semua ini menunjukkan secara fungsional negara telah bekerja dalam mode nasional penuh. Meskipun tanpa label formal “bencana nasional”.

Hambatan utama di Aceh bukanlah kekurangan personel, anggaran, atau kemauan politik. Hambatan tersebut bersifat teknis dan alamiah. Banyak jembatan tidak sekadar rusak, tetapi hilang struktur penopangnya. Sehingga tidak mungkin dipulihkan secara instan.

Di sejumlah jalur, satu jembatan yang berhasil dipasang kembali belum otomatis membuka akses. Karena jembatan lain di ruas yang sama masih putus. Curah hujan tinggi, arus sungai deras, dan kondisi tanah yang labil memaksa penghentian sementara alat berat demi keselamatan kerja.

BACA JUGA :  Bencana Sumatera Membuka Wajah Asli Kepemimpinan: Ramai Gaya, Minim Kinerja

Dalam teori manajemen bencana dan rekayasa sipil, kondisi ini dikenal sebagai physical constraint dan time-bound recovery. Ialah situasi di mana kecepatan pemulihan ditentukan hukum alam dan proses teknis. Bukan oleh intensitas tekanan administratif.

Dalam konteks seperti ini, asumsi penetapan status bencana nasional akan mempercepat penanganan menjadi tidak berdasar. Teori “organisasi darurat” justru menunjukkan setelah kapasitas optimal tercapai, penambahan sumber daya tidak lagi menghasilkan percepatan sebanding.

Bahkan, sebagaimana dikemukakan dalam konsep coordination saturation, terlalu banyak aktor dalam ruang operasi yang terbatas dapat memperlambat pengambilan keputusan, memperpanjang rantai komando, dan menurunkan efektivitas kerja. Pada titik tertentu, yang dibutuhkan bukan lebih banyak orang atau simbol politik. Melainkan waktu dan stabilitas kondisi lapangan.

Isu bantuan asing sering muncul sebagai argumen tambahan. Seolah-olah tanpa status bencana nasional, Indonesia menutup diri dari solidaritas internasional. Dalam konteks Aceh, logika ini justru terbalik.

Pekerjaan utama di lapangan pembangunan jembatan darurat, pembukaan akses jalan, dan pemulihan konektivitas wilayah merupakan domain sepenuhnya berada dalam kapasitas nasional. Zeni TNI memiliki pengalaman panjang di medan ekstrem, sistem komando jelas, serta keseragaman standar teknis.

Teori respons bencana menegaskan bahwa pada fase tanggap darurat infrastruktur, efektivitas sangat bergantung pada kesederhanaan struktur komando dan homogenitas prosedur. Kehadiran aktor asing, dengan standar, protokol, dan kebutuhan koordinasi tambahan, justru berpotensi menciptakan “bottleneck baru” alih-alih mempercepat pemulihan.

Kita juga sering melihat di lokasi bencana berubah menjadi “wisata bencana”. Banyak orang menonton bekas wilyah bencana. Dibanding SDM trampil dalam bekerja memulihkan bencana.

BACA JUGA :  Banjir Bandang, Hutan, dan Buffer Zone Ekonomi

Pertanyaannya kemudian, mengapa tuntutan penetapan status bencana nasional tetap menguat?

Sebagiannya tentu lahir dari ketidaktahuan terhadap mekanisme penanggulangan bencana dan realitas teknis di lapangan. Namun tidak dapat diabaikan pula adanya motif politik.

Status bencana nasional memiliki daya simbolik kuat dan mudah dipakai sebagai alat framing untuk membangun persepsi. Bahwa situasi sepenuhnya di luar kendali dan pemerintah gagal bekerja.

Dalam teori komunikasi politik, simbol sering kali lebih efektif membentuk persepsi publik dibandingkan data kinerja faktual.

Akibatnya, fakta puluhan ribu personel yang bekerja, puluhan jembatan yang ditangani, dan puluhan helikopter yang beroperasi setiap hari kerap tenggelam di bawah narasi simbolik tersebut.

Dengan demikian, jika diukur secara hukum, operasional, dan teoritik, tuntutan penetapan status bencana nasional untuk Aceh saat ini memang tidak lagi relevan.

Negara telah hadir secara nyata, sumber daya nasional telah dikerahkan secara masif, dan hambatan yang tersisa adalah hambatan teknis yang secara objektif membutuhkan waktu.

Penetapan status nasional tidak akan mempercepat pembangunan jembatan. Tidak akan mengalahkan batasan alam. Tidak akan menambah kapasitas kerja yang pada dasarnya sudah berada di titik optimal.

Dalam konteks ini, kebijakan yang tidak populis tetapi realistis justru mencerminkan kematangan tata kelola negara.

Ukuran keberhasilan seharusnya tidak diletakkan pada simbol administratif. Melainkan pada efektivitas kerja, ketepatan keputusan, dan kemampuan negara menjaga rasionalitas di tengah tekanan opini publik.

Jakarta, ARS (rohmanfth@gmail.com).