WawaiNEWS.id – Indonesia resmi melangkah menuju kursi Presiden Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk tahun 2026. Penetapan formal dijadwalkan berlangsung dalam Sidang Dewan HAM PBB di Jenewa pada 8 Januari 2026.
Jabatan prestisius ini akan diemban oleh Wakil Tetap Republik Indonesia untuk PBB di Jenewa, Duta Besar Sidharto Reza Suryodipuro, yang akan memimpin jalannya agenda Dewan HAM PBB sepanjang 2026.
Indonesia menjadi calon tunggal dari kawasan Asia-Pasifik. Pemerintah menyebut pencalonan ini sebagai hasil konsensus regional, sekaligus cerminan kepercayaan negara-negara Asia-Pasifik terhadap posisi dan peran Indonesia dalam isu hak asasi manusia di tingkat global.
“Hari ini Indonesia resmi dipilih oleh negara-negara anggota Asia-Pacific Group (APG) untuk dinominasikan sebagai Presiden Dewan HAM PBB tahun 2026,” ujar Menteri Luar Negeri Sugiono dalam pernyataan resminya, Rabu (24/12/2025).
Saat ini Indonesia masih berstatus sebagai anggota Dewan HAM PBB periode 2024–2026. Berdasarkan mekanisme rotasi kawasan, Asia-Pacific Group memang mendapat giliran memegang presidensi pada siklus ke-20 tahun 2026. Secara prosedural, pencalonan Indonesia nyaris tanpa hambatan. Namun, di sinilah ironi mulai terasa.
Presidensi Indonesia bertepatan dengan peringatan 20 tahun berdirinya Dewan HAM PBB sebuah momentum simbolik yang diharapkan memperkuat tata kelola HAM global yang inklusif, dialogis, dan berbasis multilateralisme. Indonesia akan berdiri di panggung internasional, berbicara tentang keadilan, perlindungan hak, dan martabat manusia.
Masalahnya, ketika Indonesia naik ke podium global, catatan HAM di dalam negeri belum sepenuhnya turun dari daftar pekerjaan rumah.
Sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu masih menggantung tanpa penyelesaian tuntas. Pemulihan hak korban berjalan lambat. Akuntabilitas negara kerap berhenti pada pembentukan tim, pernyataan komitmen, atau rekomendasi administratif yang tidak pernah benar-benar menembus pintu keadilan.
Singkatnya, HAM di Indonesia masih sering diperlakukan sebagai dokumen kebijakan, bukan pengalaman hidup para korban.
Kondisi ini menempatkan Indonesia dalam posisi yang sangat krusial. Memimpin Dewan HAM PBB bukan sekadar mengatur jadwal sidang, mengetuk palu, atau merumuskan resolusi yang penuh diksi normatif. Jabatan ini membawa beban moral dan politik yang besar: konsistensi antara narasi global dan praktik nasional.
Ketika Indonesia menyerukan penghormatan HAM di forum internasional, dunia akan menoleh ke dalam: bagaimana negara ini menyelesaikan pelanggaran HAM di wilayahnya sendiri? Apakah keberanian itu hanya hidup di ruang sidang PBB, atau juga hadir di ruang-ruang keadilan nasional?
Presidensi Dewan HAM PBB 2026 seharusnya tidak berhenti sebagai prestasi diplomasi dan kebanggaan simbolik. Ia bisa dan seharusnya menjadi titik balik.
Pemerintah memiliki kesempatan emas untuk membuktikan bahwa kepemimpinan HAM bukan sekadar retorika luar negeri, melainkan dorongan nyata untuk mempercepat penyelesaian kasus HAM, memperkuat supremasi hukum, dan memastikan keadilan bagi korban tidak berhenti pada pengakuan moral semata.
Pada akhirnya, pertanyaan paling penting bukanlah bagaimana Indonesia memimpin diskursus HAM di Jenewa, tetapi sejauh mana keberanian itu tercermin di Jakarta dan di seluruh wilayah tempat hak asasi manusia pernah, dan masih, terlanggar.
Karena memimpin Dewan HAM PBB berarti siap diuji, bukan hanya dipuji.***













