Opini

Setelah Kerusuhan 22 Mei, Indonesia Darurat Literasi Digital. Apa Itu?

×

Setelah Kerusuhan 22 Mei, Indonesia Darurat Literasi Digital. Apa Itu?

Sebarkan artikel ini

Saat kerusuhan 22 Mei terjadi, pemerintah Indonesia berusaha membatasi akses digital, dengan tujuan mencegah penyebaran berita palsu dan mengendalikan tingkat kekerasan yang berkembang–baik di lapangan maupun secara digital. Namun, hal ini terbukti tidak cukup efektif karena masalah mendasar yaitu masih kurangnya literasi digital di kalangan masyarakat Indonesia. Literasi digital adalah kemampuan individu untuk mengakses, memahami, menciptakan, mengomunikasikan, dan mengevaluasi informasi melalui teknologi digital dan mencakup pengetahuan dan keterampilan praktis.

Oleh: Treviliana Eka Putri dan Dewa Ayu Diah Angendari (The Conversations)

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Bulan Mei 2019, pemerintah Indonesia telah melakukan pemblokiran sementara terhadap akses ke media sosial selama tiga hari setelah kerusuhan 22 Mei pasca pengumuman hasil Pilpres 2019 di ibu kota Jakarta.

Pemerintah mengklaim bahwa langkah pembatasan internet itu bertujuan untuk menghentikan penyebaran disinformasi yang dapat memperburuk kekerasan.

Beberapa pihak setuju dengan pemerintah, sementara sebagian lainnya tidak. Beberapa ahli berpendapat bahwa langkah itu telah melanggar hak masyarakat untuk mengekspresikan diri dan mendapatkan informasi.

Selain mengancam kebebasan berbicara, langkah semacam itu terbukti tidak efektif. Larangan media sosial di Sri Lanka setelah serangan teroris bulan April 2019 justru memicu ketidakpastian publik, keraguan, ketakutan, dan potensi kerugian ekonomi. Di Indonesia, selama pembatasan internet, orang-orang masih dapat mendistribusikan berita palsu dengan menggunakan Virtual Private Networks (VPN) untuk menyiasati sistem pemblokiran.

BACA JUGA :  Hadiri Penyerahan Remisi, Pemdaprov Jabar Siap Bantu Tingkatkan Literasi Penghuni Lapas Anak

Oleh karena itu, tulisan kali ini bermaksud mengajukan pendekatan yang lebih baik untuk mengatasi disinformasi dalam bentuk gerakan literasi digital, yang akan melibatkan kolaborasi antara pemerintah, platform media sosial, dan publik.

LITERASI DIGITAL UNTUK SEMUA PIHAK

Literasi digital adalah kemampuan individu untuk mengakses, memahami, menciptakan, mengomunikasikan, dan mengevaluasi informasi melalui teknologi digital. Literasi digital mencakup pengetahuan dan keterampilan praktis. Warga negara yang melek digital tidak hanya dapat menemukan informasi tetapi juga memeriksa fakta terkait konten sebelum membagikannya kepada orang lain.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa Indonesia sebagian besar menyediakan pendidikan literasi digital di tingkat universitas. Hal ini tidaklah cukup karena banyak pengguna aktif internet tidak menempuh pendidikan universitas. Data dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa di Indonesia adalah sekitar 6,9 juta orang atau hanya 5 persen dari total pengguna internet di negara ini.

Pemerintah Indonesia harus memprakarsai literasi digital nasional yang menargetkan semua pengguna internet. Ini adalah pekerjaan besar dan karenanya membutuhkan kolaborasi dengan platform media sosial serta publik.

Pemerintah telah memulai kolaborasi ini dengan menciptakan Siberkreasi, yakni gerakan literasi digital berbasis komunitas yang didukung oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Tujuan utama dari proyek ini adalah memberdayakan setiap individu sehingga mereka dapat menemukan dan memeriksa informasi di berbagai platform digital.

Pemerintah juga harus mengeluarkan kebijakan yang kuat untuk melibatkan sekolah untuk mengajarkan literasi digital. Negara-negara seperti Finlandia, Kanada, dan Australia telah memasukkan literasi digital dalam kurikulum sekolah nasionalnya.

BACA JUGA :  Penegak Hukum Diminta Usut Dugaan Pejabat DBMSDA dalam Pengaturan Proyek

MELIBATKAN PLATFORM MEDIA SOSIAL

Platform media sosial harus berbuat lebih banyak dalam mencegah dan mengendalikan penyebaran disinformasi pada platform mereka. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa berita palsu dan disinformasi di Indonesia sebagian besar ditemukan di Facebook (82,5 persen), WhatsApp (56,55 persen), Line (11,37 persen), dan Twitter (10,38 persen). Angka-angka itu menunjukkan peran penting platform media sosial dalam memfasilitasi penyebaran disinformasi di antara warga negara.

Namun, penelitian kali ini melihat bahwa perusahaan media sosial di Indonesia belum melakukan cukup upaya untuk memerangi misinformasi. Platform harus berkolaborasi dengan pemerintah untuk mencegah penyebaran informasi palsu.

Secara global, pemerintah di seluruh dunia telah mencoba untuk mengatur platform media sosial untuk mengurangi dampak negatif dari media sosial.

Di Jerman, kebijakan yang dikenal sebagai Network Enforcement Act (NetzDG) 2017 memerintahkan platform media sosial untuk menghapus konten ilegal (termasuk ujaran kebencian dan berita palsu) di platform mereka. Di bawah peraturan ini, platform media sosial harus mencatat konten tersebut dalam waktu 24 jam setelah laporan dikeluarkan. Jika tidak, mereka menghadapi denda yang lumayan berat hingga senilai € 50 juta atau setara US$56 juta.

Sementara itu di Prancis, di bawah Fake News Law, platform media sosial harus mempublikasikan transparansi algoritmenya dan membuat fitur baru di platform mereka yang memungkinkan pengguna media sosial untuk menandai konten disinformasi.

BACA JUGA :  Pilkada Jakarta 2024: Redupnya “Masyarakat Rasional”?

Meskipun mungkin belum cukup layak untuk mengikuti langkah kebijakan setiap negara, pemerintah Indonesia mungkin perlu mengambil langkah yang lebih signifikan untuk memerangi penyebaran disinformasi dengan memberlakukan peraturan untuk platform media sosial untuk melindungi masyarakat dari penyebaran disinformasi.

MENJANGKAU MASYARAKAT

Pemerintah Indonesia juga harus bekerja sama dengan masyarakat lokal dan LSM untuk menyebarkan kampanye literasi digital ke tingkat akar rumput.

Salah satu contoh dari inisiatif yang dipimpin oleh warga adalah Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo), yang berfokus pada memerangi penyebaran berita palsu. Mafindo telah memulai pengecekan fakta kolaboratif dengan 25 media lokal. Kolaborasi tersebut membantu membongkar berita palsu publik selama Pilpres 2019.

Melalui kolaborasi, pemerintah dapat mengoptimalkan gerakan literasi digital di tingkat akar rumput. Dengan bantuan komunitas lokal, pemerintah dapat membagikan langkah-langkah untuk mencegah dan mengurangi penyebaran disinformasi.

Kita melihat adanya kebutuhan yang sangat besar akan kolaborasi antara para pemangku kepentingan penting di Indonesia untuk mengatasi masalah disinformasi di Indonesia. Kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan platform media sosial sangat penting untuk membangun keberhasilan gerakan literasi digital nasional. Setiap aktor yang terlibat harus memainkan perannya untuk memerangi penyebaran berita palsu dan disinformasi.

Treviliana Eka Putri dan Dewa Ayu Diah Angendari adalah pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi dan peneliti di Center for Digital Society, Universitas Gadjah Mada.