Scroll untuk baca artikel
Budaya

Adab Sunda dan Jalan Sunyi Menuju Harmoni

×

Adab Sunda dan Jalan Sunyi Menuju Harmoni

Sebarkan artikel ini
Dedi Mulyadi (KDM) Gubernur Jawa Barat

DEPOK – Di tengah derasnya arus globalisasi dan riuhnya pertarungan politik identitas, suara Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi di panggung Makara Art Center, Universitas Indonesia, Selasa (21/10/2025), terdengar menenangkan.

Ia tidak berbicara tentang kekuasaan, pembangunan fisik, atau proyek ambisius, melainkan tentang sesuatu yang jauh lebih halus adab.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

“Dalam budaya Sunda, adab adalah akar dari kehidupan,” ujar Dedi membuka pidatonya dalam acara Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian. “Adab kepada Tuhan, kepada alam, kepada orang tua, dan kepada sesama manusia. Kalau akar ini kuat, batang dan daun peradaban akan tumbuh dengan indah.”

Ucapan itu seolah mengembalikan publik pada kesadaran lama yang nyaris terlupakan: bahwa pembangunan tidak hanya soal infrastruktur, tapi juga infraspiritual—fondasi batin yang menopang harmoni sosial.

Budaya Sunda memang kaya akan falsafah hidup yang mengajarkan keseimbangan. Dalam setiap ungkapan, tersirat nilai kesantunan dan penghormatan. “Silih asih, silih asah, silih asuh” bukan sekadar peribahasa, tapi prinsip hidup yang menuntun manusia untuk saling menyayangi, saling belajar, dan saling menjaga.

Kang Dedi, begitu masyarakat mengenalnya, menuturkan kenangan kecil yang sarat makna. “Dulu, waktu kecil, setiap Januari selalu turun hujan ngebul. Orang-orang bilang, ‘ieu keur tahun baru Cina, ceunah’. Artinya, sejak dulu masyarakat sudah hidup dengan perbedaan tanpa merasa terancam,” kisahnya disambut tawa hangat audiens.

Cerita sederhana itu menggambarkan watak dasar masyarakat Sunda: terbuka, lembut, dan menghormati keberagaman. Di kampung-kampung, perbedaan agama bukan persoalan besar. Yang penting adalah rasa hormat—kepada yang lebih tua, kepada alam, kepada sesama, dan kepada Tuhan.

Namun, menurut Dedi, harmoni sosial kini sering terganggu oleh politik yang menunggangi simbol-simbol agama dan budaya. Ia menyebutnya sebagai penyakit peradaban modern di mana adab terkalahkan oleh ambisi.

“Sejak awal, bangsa ini sudah plural. Yang membuat kita retak bukan perbedaan, tapi kepentingan yang menunggangi perbedaan itu,” ujarnya tegas.

Pesan Dedi terasa seperti ajakan untuk menengok kembali akar kebijaksanaan Nusantara. Di tengah dunia yang serba cepat dan keras, nilai-nilai adab justru menjadi penyejuk, penuntun arah agar manusia tak kehilangan kemanusiaannya.

Acara Dialog Peradaban 2025 yang mengusung tema “Aksi Nyata: Dari Dialog ke Kolaborasi” tak hanya menjadi forum intelektual, tetapi juga ruang perenungan kolektif. Para akademisi, tokoh lintas agama, dan perwakilan masyarakat yang hadir sepakat: Indonesia memerlukan adab, bukan sekadar aturan; kehalusan budi, bukan hanya kecerdasan akal.

Dari panggung budaya Sunda itu, gema pesan lama kembali terdengar: bahwa harmoni bukan hasil keseragaman, melainkan buah dari penghormatan.

Dan mungkin, di tengah zaman yang penuh kebisingan ini, menghidupkan adab adalah bentuk paling sunyi namun paling mulia dari perjuangan membangun peradaban.***