KOTA BEKASI — Revitalisasi Pasar Kranji Baru, Bekasi Barat, terus memasuki babak baru. Para pedagang yang sejak lama menggantungkan hidupnya di pasar itu kini terjepit di antara addendum kerja sama yang dianggap berat sebelah, dan dua pihak swasta yang saling klaim sebagai pengelola sah.
Dalam addendum baru tersebut, para pedagang diwajibkan membayar bertahap seiring progres pembangunan. Saat pembangunan 25 persen, mereka harus setor 15 persen.
Kemudian setelah revitalisasi mencapai 50 persen, tambah lagi 15 persen. Begitu bangunan berdiri 60 persen, bayar lagi 20 persen, hingga lunas setelah proyek rampung 100 persen?
“Kalau begini, di mana peran Pemerintah Kota Bekasi? Ini penindasan terhadap pedagang, dan Pemkot justru membela PT ABB mati-matian. Ada apa dengan Pemkot Bekasi?” seru Sri Mulyono, pedagang senior sekaligus mantan pengurus RWP Pasar Kranji Baru periode 2015–2020, dengan nada tajam.
Menurut Sri Mulyono, pola yang tertuang dalam addendum itu aneh dan terkesan melindungi satu pihak saja.”Modalnya PT ABB itu apa? Dalam perjanjian disebut investasi murni, tapi praktiknya seperti ‘investor kaleng-kaleng’. Kenapa PT ABB diperlakukan seperti anak emas?” sindirnya.
Lebih lanjut Pakde Sri Mulyono menceritakan, bahwa dirinya bersama perwakilan pedagang sudah bertemu langsung dengan Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, pada Senin lalu. Mereka meminta salinan addendum kerja sama antara Pemkot Bekasi dan PT Annisa Bintang Blitar (ABB).
“Pak Wali sudah mengizinkan, tapi begitu kami turun ke bawah malah dipersulit. Alasannya panjang kayak sinetron,” ujar Sri Mulyono mengatakan jika mereka cuma minta salinan dokumen, bukan minta proyek.
Dua Pihak Rebutan Lahan Pemkot
Menurut Sri, kini ada dua pihak yang sama-sama mengklaim sebagai pengelola proyek revitalisasi: PT Annisa Bintang Blitar (ABB) dan PT Erra Global Cipta (EGC).
“Keduanya bukan investor sejati, tapi calo proyek. Nunggu pedagang bayar dulu baru gerak,” ujarnya.
Ia bahkan menyebut akuisisi PT ABB oleh pihak lain sebagai langkah nekat.
Pasalnya, perusahaan penuh utang kok diambil alih? Itu bukan strategi bisnis, tapi tindakan berani mati.
Yang lebih ironis, lahan yang mereka perebutkan sejatinya milik Pemerintah Kota Bekasi. “Bayangkan, dua orang ribut siapa pemilik rumah, padahal rumahnya punya negara. Absurd banget,” kata Sri Mulyono menambahkan.
Addendum ‘Jebakan Legal’
Pedagang juga menyoroti isi addendum yang ditandatangani antara Pemkot Bekasi dan diretur baru PT ABB. Menurut mereka, klausul di dalamnya berpotensi merugikan pedagang, terutama bagi yang memiliki lebih dari empat kios atau ruko.
“Addendum itu bisa jadi dasar untuk mengambil aset pedagang. Ini jebakan legal yang halus,” ungkap Sri Mulyono.
Lebih aneh lagi, penandatanganannya dilakukan oleh direktur utama PT ABB yang legalitasnya “masih misteri dunia lain, ada tapi tak nyata.”
Data Sudah Diserahkan
Sebagai bentuk tanggung jawab, pengurus RWP periode 2015–2020 telah menyusun 15 jilid bukti pembayaran kios, los, dan ruko lengkap sesuai blok dan nomor.
“Semua sudah kami serahkan ke Pemkot Bekasi, bahkan ke BPK RI dan BPKP Jawa Barat pada 2023. Kalau masih ada yang pura-pura gak tahu, mungkin bukunya nyelip di lemari sebelah,” ujarnya lebih lanjut.
Sri Mulyono pun, menuding sejak 2021 PT ABB sengaja menebar konflik antar pedagang dan pengurus. “Mereka pakai ilmu Belanda divide et impera. Bedanya, kalau dulu penjajahnya bule, sekarang kulitnya sawo matang tapi otaknya tetap kolonial,” ujarnya tertawa pahit.
Dia menyampaikan selama ini sesama pedagang diadu, pengurus dipecah, supaya kita sibuk bertengkar sementara mereka leluasa bergerak.
Kini, Sri Mulyono menegaskan para pedagang tidak lagi mudah dipecundangi.
“Dulu kami dianggap gak paham hukum, gampang dibodohi. Sekarang kami sudah tahu permainan ini. Kami punya data, bukti, dan kesadaran bersama,” tegasnya.
Menurutnya, mereka bukan anti pembangunan, tapi anti dibohongi. “Kita cuma mau adil dan transparan. Salam Cerdas, Salam Kompak, Salam Waras, dan Salam Perjuangan,” ujarnya menutup dengan senyum getir.***