WAWAINEWS.ID – Shalat lima waktu bukan sekadar rutinitas yang diulang lima kali sehari, melainkan titik temu antara hamba dan Tuhannya sebuah momen di mana dunia seharusnya menghilang dari pandangan, dan hati hanya tertuju pada Allah.
Namun di tengah usaha mencari kekhusyukan itu, muncul satu kebiasaan yang sering memicu perdebatan ringan di masjid: bolehkah memejamkan mata saat shalat?
Apakah memejamkan mata itu tanda kekhusyukan, atau justru malah membuat kita “tertidur secara spiritual” di hadapan Tuhan?
Pandangan Ulama: Mata Terbuka, Hati Terjaga
Menurut ulama besar Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam kitab I’anatut Thalibin, umat Islam disunnahkan untuk membuka mata dan memandang ke tempat sujud selama shalat.
Mengapa? Karena pandangan yang terarah membantu menjaga hati agar fokus, bukan melayang ke urusan dunia yang menempel di sekeliling sajadah.
“Dan disunnahkan terus memandang ke tempat sujud sejak takbiratul ihram hingga akhir shalat, kecuali pada bagian-bagian tertentu.”
(I’anatut Thalibin, Juz I, Hal. 312)
Dengan kata lain, membuka mata saat shalat bukan hanya soal posisi fisik, tapi juga soal disiplin spiritualmenjaga pandangan agar tetap di jalur sujud, bukan di jalur pikiran yang tiba-tiba mengingat tagihan listrik, notifikasi ponsel, atau isi keranjang belanja online.
Namun, Tidak Semua yang Terpejam Itu Salah
Menariknya, Syekh Abu Bakar Syatha juga memberi ruang bijak bagi mereka yang merasa terganggu oleh pandangan sekitar. Dalam kondisi tertentu, memejamkan mata bukan kesalahan, bahkan bisa menjadi ibadah tambahan jika diniatkan untuk menjaga kekhusyukan.
Berikut penjelasan hukum memejamkan mata dalam shalat, disusun dengan konteks dan keseimbangan:
1. Mubah (Boleh)
Memejamkan mata boleh dilakukan, sebab tidak ada dalil tegas yang melarangnya. Hanya saja, tindakan ini dianggap khilaful awla (meninggalkan yang lebih utama), karena Nabi ﷺ lebih sering membuka mata saat shalat.
Ibaratnya, seperti orang yang boleh minum kopi saat malam, tapi tahu bahwa air putih tetap lebih menyehatkan.
2. Makruh
Jika shalat dilakukan di tempat yang berbahaya misalnya di padang terbuka dengan risiko binatang buas atau ancaman lain memejamkan mata justru makruh, karena dapat membahayakan diri.
Dalam konteks modern, barangkali maknanya: jangan memejamkan mata saat shalat di tepi tangga atau dekat kompor menyala.
3. Sunnah
Apabila di hadapan ada hal-hal yang mengganggu kekhusyukan, seperti hiasan tembok, tulisan motivasi, atau bahkan orang lewat dengan baju mencolok, maka memejamkan mata bisa menjadi sunnah. Tujuannya jelas: fokus kepada Allah, bukan kepada dekorasi dinding.
Kadang, memejamkan mata bukan berarti tak melihat, tapi justru agar lebih “melihat” yang sebenarnya.
4. Wajib
Dalam kondisi ekstrem misalnya ketika ada aurat terbuka atau sesuatu yang haram untuk dipandang memejamkan mata menjadi wajib. Ini bukan hanya soal kekhusyukan, tetapi soal menjaga kesucian pandangan dan kehormatan ibadah
Keseimbangan: Terbuka di Mata, Khusyuk di Hati
Pada akhirnya, baik mata terbuka maupun terpejam, yang paling penting adalah keterbukaan hati. Ada orang yang membuka mata tapi pikirannya jalan-jalan ke kantor, dan ada yang menutup mata tapi hatinya justru sedang berhadapan dengan Tuhannya.
Islam, seperti biasa, memberi ruang untuk konteks dan niat. Membuka mata adalah sunnah karena Nabi mencontohkannya.
Tapi jika menutup mata justru membawa jiwa lebih khusyuk, maka tidak ada dosa, bahkan bisa bernilai pahala.
Shalat bukan tentang posisi pandangan, tapi arah hati. Entah mata terbuka atau tertutup, yang dikehendaki Allah bukan sekadar gerakan tubuh, melainkan kehadiran jiwa yang tunduk sepenuhnya.
Jadi, kalaupun mata terpejam dalam shalat, pastikan yang terbangun adalah kesadaran, bukan rasa kantuk. Karena dalam sujud, yang paling dicari bukan kegelapan kelopak mata, tapi cahaya ketenangan yang datang dari kedekatan dengan-Nya.
Wallahu a‘lam bish-shawab.











