Scroll untuk baca artikel
Head LineTANGGAMUS

Bangunan Pasar Desa di Tanggamus Beralih Fungsi Jadi Toko Bangunan Milik Kepala Pekon?

×

Bangunan Pasar Desa di Tanggamus Beralih Fungsi Jadi Toko Bangunan Milik Kepala Pekon?

Sebarkan artikel ini
Foto: Bangunan Pasar ber cat kuning bersumber dari Dana Desa Pekon Kuripan, Kecamatan Limau, Tanggamus, bernilai ratusan juta terlihat mati suri, (foto_dok)

TANGGAMUS — Dugaan penyimpangan dalam pengelolaan dana desa kembali menyeruak di Kabupaten Tanggamus, Lampung. Kali ini terjadi di Pekon Kuripan, Kecamatan Limau, di mana sebuah bangunan pasar desa yang dibiayai dengan dana desa ratusan juta rupiah kini diduga beralih fungsi menjadi toko bangunan milik Kepala Pekon.

Berdasarkan dokumen Rencana Anggaran dan Belanja Desa (RAB) tahun 2021, Pemerintah Pekon Kuripan mengalokasikan Rp246,8 juta dari Dana Desa untuk kegiatan “Pembangunan/Rehabilitasi/Peningkatan Pasar Desa/Kios Milik Desa.”

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Proyek tersebut kala itu diklaim bertujuan meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat dan memperkuat posisi BUMDes sebagai motor penggerak usaha lokal. Indikasi penyalahgunaan aset desa menyeruak, sehingga warga mendesak agar dilakukan pemeriksaan menyeluruh.

Pasalnya hasil di lapangan menunjukkan fakta berbeda. Bangunan pasar yang dibangun dengan anggaran publik kini terbengkalai dan tidak difungsikan sebagaimana peruntukannya.

Lokasi pasar yang semula diharapkan menjadi sentra kegiatan ekonomi rakyat kini tampak kosong, berdebu, ditumbuhi rumput liar, dan sebagian arealnya justru dipenuhi material proyek Makan Bergizi Gratis (MBG).

Ironisnya, di sebagian lahan pasar tersebut kini berdiri toko bangunan yang secara terang-terangan dimiliki oleh Kepala Pekon Kuripan, Ansorudin. Temuan ini menimbulkan pertanyaan terkait pengelolaan aset desa dan potensi konflik kepentingan antara jabatan publik dan kepemilikan pribadi.

Ansorudin sendiri bukan sosok yang asing dalam sorotan pengawasan dana desa. Berdasarkan catatan publik, pada tahun 2023 ia pernah mengembalikan kerugian negara atas dugaan penyimpangan pengelolaan dana desa di wilayah yang sama.

Sejumlah warga Kuripan menyampaikan kekecewaannya atas kondisi ini. Mereka menilai penggunaan aset publik untuk kepentingan pribadi merupakan bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat.

“Kami tidak iri, tapi ini aset desa. Kalau disewa, mana uang sewanya? Kalau dijual, siapa yang mengizinkan?” ujar seorang warga kepada Wawai News, Selasa (28/10/2025).

Lebih jauh, warga juga mempertanyakan keberadaan dapur proyek Makan Bergizi Gratis yang berdiri berdampingan dengan toko bangunan milik Kepala Pekon.

Dapur tersebut disebut-sebut dimiliki oleh seorang anggota DPRD yang juga tetangga dekat sang kepala pekon, sehingga menimbulkan dugaan adanya praktik saling melindungi kepentingan di antara elit lokal.

Sementara itu, Sekretaris Pekon Kuripan, Nugraha, saat dikonfirmasi mengakui bahwa pasar desa tersebut memang sudah lama tidak beroperasi.

“Dulu sempat berjalan sekitar tiga bulan, tapi karena faktor cuaca dan minat pedagang yang rendah, akhirnya tidak bertahan,” ujarnya.

Namun, ketika dimintai penjelasan soal pemanfaatan sebagian lahan pasar untuk kegiatan non-pasar dan dugaan penyewaan aset, Nugraha enggan memberikan komentar lebih jauh.

“Soal itu langsung konfirmasi ke Kepala Pekon dan pihak dewan. Saya tidak punya kapasitas menjawab,” katanya singkat.

Keterangan serupa disampaikan oleh pendamping desa yang turut hadir di lokasi. Namun, ketika ditanya soal keberadaan dan fungsi BUMDes, yang seharusnya menjadi pengelola aset ekonomi desa, ia memilih menghindar tanpa memberikan penjelasan substantif.

“BUMDes ada, pengurusnya lengkap,” ujarnya singkat sebelum meninggalkan lokasi.

Camat Limau, Yosep, saat dikonfirmasi, menyatakan akan menindaklanjuti temuan tersebut.

“Sejak saya menjabat tahun 2022, pasar itu memang sudah tidak beroperasi. Kami pernah mengusulkan agar dikelola Pemkab agar bisa dioptimalkan menjadi pasar modern, tetapi belum terealisasi,” jelasnya.

“Kalau benar ada praktik sewa atau penggunaan aset tanpa mekanisme resmi, kami akan panggil Kepala Pekon dan pihak terkait untuk klarifikasi,” tegasnya.

Dari hasil penelusuran sementara, tanah pasar Kuripan ternyata belum tercatat dalam daftar aset desa, sehingga secara administrasi memiliki status “tidak jelas.” Namun demikian, aset fisik tersebut sudah dimanfaatkan secara pribadi tanpa mekanisme pertanggungjawaban keuangan yang transparan.

Kondisi ini menunjukkan lemahnya pengawasan atas pengelolaan dana desa serta tidak optimalnya peran lembaga pengawasan internal seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Pendamping Desa.

Diketahui kasus semacam ini bukan hanya masalah etik dan hukum, tetapi juga potret kegagalan sistem tata kelola desa. Dana desa yang seharusnya memperkuat ekonomi rakyat justru berakhir menjadi modal pribadi.

Jika benar terbukti adanya pelanggaran, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang dan penggelapan aset desa, yang berpotensi dijerat dengan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Tentunya, langkah tegas pemerintah daerah, inspektorat, dan aparat penegak hukum dalam menelusuri dugaan penyimpangan ini. Sehingga indikasi adanya penyimpangan bisa terjawab dan warga jadi paham apakah melanggar atau memang diperbolehkan.

Karena di tengah upaya membangun kepercayaan publik terhadap tata kelola dana desa, kasus “pasar jadi toko pribadi” di Pekon Kuripan menjadi contoh klasik bagaimana semangat membangun desa bisa berubah menjadi semangat memperkaya diri.***