SIDOARJO – Musibah robohnya salah satu bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, pada 29 September 2025 bukan hanya menyisakan puing, tapi juga luka mendalam.
Peristiwa yang terjadi saat salat Ashar ini merenggut 3 nyawa, melukai puluhan santri, dan memaksa negara kali ini lewat Menteri Agama Nasaruddin Umar turun tangan.
Menag datang dari Jakarta membawa duka, doa, dan bantuan Rp610 juta. “Semoga santri tidak trauma, bisa lanjut belajar, dan kondisi bisa segera pulih,” ucapnya, Selasa (30/9/2025).
Namun tragedi ini sekaligus membuka pertanyaan publik: kenapa bangunan pesantren bisa roboh begitu saja? Apa karena kualitas konstruksi rendah, atau karena aturan yang selama ini longgar?
Data BPBD Jawa Timur mencatat, ada 100 korban: 26 dirawat, 70 pulang, 1 dirujuk, dan 3 meninggal dunia.
Basarnas, BPBD, TNI, dan Polri masih berjibaku di lokasi, sementara masyarakat hanya bisa berdoa agar jumlah korban tak bertambah.
Menag menegaskan musibah ini jadi pelajaran penting. “Kita harus buat aturan ketat agar pembangunan pesantren dan madrasah sesuai standar. Jangan sampai musibah ini terulang di tempat lain,” katanya.
Artinya, baru setelah bangunan roboh dan korban berjatuhan, pemerintah serius memikirkan standar bangunan pesantren.
Selama ini, banyak pondok dan madrasah berdiri atas gotong royong, tanpa pengawasan konstruksi berarti. Akibatnya, tembok rapuh jadi ancaman, atap ringkih jadi bencana.
Menag menyalurkan bantuan Rp610 juta, bekerja sama dengan Baznas dan lembaga keuangan lain. Pendekatan pertama yang dilakukan, katanya, adalah “menstabilkan emosi” para korban.
Satirnya, memang selalu begitu pola pemerintah: setiap ada musibah, pejabat datang, doa dipanjatkan, uang bantuan dikucurkan, lalu janji regulasi disuarakan. Begitu bencana berikutnya terjadi, siklusnya terulang lagi.
Publik pun bertanya-tanya: apakah regulasi benar-benar akan ditegakkan, atau hanya jadi catatan rapat yang mengendap di laci birokrasi?
Menag berjanji segera menggelar pertemuan dengan para ahli bangunan, merumuskan panduan agar pesantren dan madrasah tidak lagi sekadar berdiri, tapi benar-benar kokoh.
“Kami bukan ahli bangunan. Karena itu, kami akan bekerja sama dengan pihak terkait,” tandasnya.
Dengan kata lain, tragedi ini baru jadi momentum bagi Kementerian Agama untuk menyadari bahwa membangun pesantren tidak cukup dengan niat baik dan semangat religius, tapi juga butuh insinyur sipil dan aturan ketat.
Runtuhnya bangunan Pesantren Al-Khoziny menunjukkan betapa rapuhnya perhatian negara terhadap infrastruktur pendidikan keagamaan. Santri bukan hanya belajar kitab kuning, tapi juga sayangnya harus belajar arti pahit dari kelalaian konstruksi.
Doa memang penting. Bantuan uang juga membantu. Tapi tanpa regulasi yang ditegakkan, doa hanya jadi kata-kata, uang hanya jadi plester sementara, dan bangunan lain bisa saja menunggu giliran untuk roboh.***