LAMPUNG TIMUR — Setelah gegap gempita Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Ajaran 2025/2026, beberapa Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Lampung Timur justru berakhir dengan suasana hening.
Bukan karena ujian sedang berlangsung, tapi karena muridnya tidak ada. Sepi. Kosong. Hanya terdengar suara jangkrik dan angin yang bersiul menyapa bangunan sekolah yang nyaris roboh.
Fenomena ini tak luput dari perhatian Bupati Lampung Timur, Ela Siti Nuryamah, yang mengaku prihatin sekaligus siap mengambil tindakan.
“Kami sedang inventarisasi SDN yang muridnya sedikit, agar bisa segera di-merger. Daripada jadi rumah hantu, lebih baik digabung saja,” ujar Bupati Ela kepada Wawai News, Rabu (16/7/2025).
Teh Ela, sapaan akrab Srikandi PKB ini mengakui jika dirinya banyak menerima laporan terkait sekolah yang sepi peminat. Untuk itu langkah konkret segera diambil untuk mengatasi persoalan yang terjadi saat ini.
Ironisnya Kepala Dinas Pendidikan Lampung Timur, Marsan sama dengan Kepsek SDN 1 Desa Gunung Sugih Besar. Keduanya kompak tidak merespon konfirmasi awak media.
Kepala Dinas Pendidikan Lampung Timur, Marsan saat dilaporkan kondisi SDN 1 Desa GSB diam seribu bahasa. Chat WhatsApp terkirim, tapi tak direspon, tanpa dibalas hanya dianggapnya seperti membaca koran pagi.
Salah satu sorotan utama adalah kondisi SDN 1 Gunung Sugih Besar (GSB), Kecamatan Sekampung Udik, yang tahun ini hanya mendapatkan 5 sampai 7 siswa baru. Entah ini sekolah atau ruang meditasi privat. Padahal, desa ini memiliki lebih dari 1.500 kepala keluarga.
Tapi anehnya, lebih memilih menyekolahkan anak ke desa sebelah. Alasannya? Banyak. Mulai dari bangunan sekolah yang mirip reruntuhan sejarah, guru yang datang bukan kesiangan, tapi hampir pulang, hingga sosialisasi pendidikan yang sepi seperti akun media sosial yang lupa kata sandi.
Konon, menurut warga, sekolah ini dulunya adalah pencetak generasi hebat. “Tahun 2007-an, total murid dari kelas 1 sampai 6 bisa tembus 750 siswa,” kata seorang warga, mengenang masa kejayaan SDN 1 GSB.
Sekarang, Untuk menyatukan murid semua kelas pun belum tentu bisa mengisi dua baris upacara bendera.
Warga pun mengeluhkan minimnya kepedulian, bukan hanya dari pihak sekolah, tetapi juga dari pemerintah. Mereka berharap sekolah ini mendapat perhatian seperti saat musim kampanye.
“Kami tidak minta dibangunkan hotel, cukup sekolah yang layak. Masa kami harus menyekolahkan anak ke desa lain padahal sekolah ada di depan mata?” keluh seorang ibu sambil menunjukkan pagar sekolah yang sudah mulai bersandar pada gravitasi.
Ironisnya, di tengah kondisi sekolah yang butuh perhatian, kepala sekolah justru sulit dihubungi. Bahkan chat WhatsApp hanya centang satu, seakan ikut meniru sinyal pendidikan di GSB yang nyaris menghilang.
Lebih jauh, warga juga menyoroti lemahnya upaya kepala sekolah dalam mengajak dan mensosialisasikan pentingnya pendidikan.
“Ganti kepala sekolah kok tidak ganti semangat. Dulu sekolah ini punya nama. Sekarang yang punya nama malah sekolah tetangga,” sindir seorang tokoh masyarakat.
Kini masyarakat tak hanya butuh solusi, tapi juga aksi. Mereka meminta pemerintah kabupaten, provinsi, hingga pusat turun tangan untuk membangun kembali infrastruktur dan semangat pendidikan di kampung mereka.
Bukan sekadar menonton dari layar data, tapi juga hadir di lapangan, melihat sendiri sekolah yang pelan-pelan “berubah fungsi” dari tempat belajar menjadi bangunan nostalgia.
“Kalau dibiarkan, SDN 1 Gunung Sugih Besar bisa jadi situs sejarah. Anak-anak malah belajar di museum, bukan di sekolah,” cetus seorang warga, kali ini sambil tertawa getir.
Pendidikan adalah hak dasar. Tapi ketika sekolah hanya menjadi bangunan tanpa murid, maka yang punah bukan hanya gedung, tapi juga masa depan. Mari kita tidak diam ketika lembar rapor tinggal jadi arsip debu.***