WAWAINEWS.ID – Pemerintah Belanda kembali mengumumkan bahwa mereka bakal mengembalikan lagi benda-benda budaya asal Indonesia yang selama puluhan tahun nongkrong manis di museum-museum Eropa.
Dari prasasti kuno, kain tradisional, sampai alat musik yang konon lebih sering dipajang daripada dimainkan.
Publik pun menyambut langkah ini dengan antusias meski tak sedikit yang nyeletuk, “Itu kan barang punya kita, kok balikin aja harus kayak acara seremoni persahabatan?”
Sebenarnya, cerita “balikin barang” ini bukan kali pertama. Sejak awal 2000-an, Indonesia sudah berkali-kali ngotot minta artefak leluhur pulang kampung. Belanda? Ya, jawabannya biasanya diplomatis: “Oke, tapi sabar ya… kita rapat dulu.”
Akibatnya, proses repatriasi sering jalan seperti siput banyak dokumen, rapat, dan dialog “bersejarah” yang lebih panjang daripada relief Borobudur.
Untunglah, kali ini kedua negara sepakat mempercepat pengembalian, supaya warisan budaya kita tidak selamanya jadi “koleksi eksotis” di rak orang lain.
Pemerintah Indonesia lewat Kemdikbudristek sudah menyiapkan tim elit: sejarawan, arkeolog, hingga kurator museum. Tugasnya: memastikan benda-benda itu pulang dalam kondisi sehat walafiat, bukan dalam status “rusak saat perjalanan”.
Menteri Kebudayaan menegaskan, setiap artefak yang balik bukan sekadar barang antik, melainkan “simbol identitas dan kedaulatan”.
Bahasa singkatnya: jangan sampai setelah balik, malah ditaruh di gudang lembap yang berpotensi bikin jamuran.
Yang menarik, Belanda kini bicara manis. “Kami mengembalikan benda budaya ini sebagai penghormatan pada sejarah Indonesia,” kata jubir Kementerian Kebudayaan mereka.
Kalimat yang, kalau dibaca sambil minum kopi, mungkin bikin sebagian orang nyaris tersedak: “Loh, bukannya dulu kalian yang ambil?”
Namun, dalam kacamata diplomasi modern, pengembalian ini jadi tanda hubungan yang lebih “setara”. Setara dalam tanda kutip, tentu saja.
Sejarawan Universitas Indonesia, Dr. Anwar Putra, mengaku senang. Katanya, repatriasi artefak bisa memperkaya penelitian dan bikin sejarah bangsa lebih lengkap.
Tapi kurator Museum Nasional, Sari Dewi, langsung kasih peringatan keras: jangan senang dulu, percuma kalau balik tapi kita nggak punya fasilitas simpan yang layak.
“Artefak ini bukan boneka Barbie, perlu suhu khusus, ruang konservasi, dan tangan profesional,” ujarnya.
Publik pun nyeletuk di media sosial: “Jangan sampai artefak balik cuma untuk dipajang sekali lalu jadi bahan konten TikTok.”
Mengurus barang puluhan miliar rupiah nilainya tentu tak semudah belanja online. Ada prosedur bea cukai, dokumen ekspor-impor, hingga restorasi benda rapuh.
Belum lagi, PR besar setelah balik: memastikan museum dan laboratorium kita punya fasilitas yang benar-benar internasional, bukan sekadar ruangan ber-AC yang listriknya bisa mati sewaktu-waktu.
Balik Kampung, Jangan Balik Gudang
Repatriasi benda budaya dari Belanda ini jelas momen bersejarah. Ia bukan cuma soal barang antik pulang kampung, tapi juga cermin apakah Indonesia serius menjaga warisan budayanya sendiri.
Jangan sampai kelak generasi mendatang mendengar kisah: “Dulu artefak kita dirampas Belanda. Setelah dikembalikan, malah hilang di gudang Pemda.”
Kalau itu terjadi, jangan salahkan Belanda lagi saatnya bercermin, kita bisa nggak menjaga sejarah yang sudah susah payah pulang dari negeri orang?.***