Sebagai disclaimer, tulisan ini tidak berdasar perinteraksian lapangan terkini. Akan tetapi didasarkan pada referensi perinteraksian masa lalu dengan penduduk lokal.
Sejumlah catatan dan silang sengkarut informasi melalui media sosial. Maupun telaah sejumlah rerferensi.
BACA JUGA: Fakta Penting Dibalik 75 Tahun Nakba atau Pengusiran Massal Warga Palestina oleh Israel
“Gereja adalah Israil Perjanjian Baru”. “Perjanjian Lama adalah Israil”. Itulah pandangan sejumlah gereja. Sejumlah yang lain menyadari bahwa Yahudi menganggap kristen sebagai Pagan.
Tidak ada harmonisnya. Bahkan beredar, Yahudi meludahi rombongan ummat Nasrani di kawasan Al-Aqso.
Itulah gambaran singkat kemuculan simbol-simbol pro Israil di Bitung.
BACA JUGA: Sejarah Baru, Hari Nakba atau Pengusiran Massal Palestina karena Israel Diperingati PBB
Bukan di kota itu saja. Pemahaman itu menyasar area luas di Sulawesi Utara, Papua maupun Ambon dan NTT. Kawasan itu memang mayoritas berpenduduk Nasrani.
Sementara masyarakat dalam kawasan lain yang bersebelahan, bahkan bertetanggaan, memahami relasi Israil dan Palestina sebagai bentuk penjajahan.
Konstitusi Indonesia mengamanatkan bahwa penjajahan harus dihapuskan. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Termasuk hak bangsa Palestina.
BACA JUGA: Penolakan Timnas Israel di Piala Dunia U-20 Bisa Berdampak Buruk Bagi Sepakbola Indonesia
Dukungan Indonesia kepada Palestina didasarkan atas perilaku kolonialistik Israil. Bukan karena perbedaan agama atau perbedaan pandangan keagamaan.
Ketika isu Palestina dijustifikasi sebagai pertengkaran agama, digelorakan di kawasan yang dalam jumlah besar pandangan keagamannya akomodatif terhadap Israil, maka akan memicu perlawanan dengan motif keagamaan.
Kasus Bitung adalah kegagalan komunikasi isu gerakan pro Palestina.
BACA JUGA: Sapi Merah Diklaim Lahir ‘Sempurna’ di Israel, Disebut Tanda Akhir Zaman
Kegagalan menyamakan persepsi isu gerakan. Bahkan diperlebar narasinya oleh pertengkaran keagamaan.
Problem kedua, hanya bisa di duga-duga. Atas dasar video yang beredar di medsos.
Backdrop rapat ormas lokal itu mengusung misi pemenangan capres tertentu. Bisa diduga gerakan aksi bela Palestina berkelindan dengan agenda politik.
Maka memicu imbangan perlawanan dalam gerakan politik.
BACA JUGA: Aksi Bekasi Bersama Palestina, Ratusan Ribu Manusia Tumpah di Jalur A. Yani
Kelompok pendukung politik yang berbeda menganggap rivalitas politik lawannya itu berkelindan dengan misi pertengkaran agama. “Lawan politik dan musuh agama,” layak pula untuk dimusui. Mungkin ada yang berfikir begitu.
Bagaimana solusi atas masalah itu?. Ada tiga yang bisa kita lakukan.
Pertama, pisahkan isu Palestina dengan isu pertengkaran agama. Isu palestina merupakan isu kemanusiaan dan anti kolonialisme. Sebagai isu universal ummat manusia.
Kedua, pisahkan gerakan aksi bela Palestina agar tidak berkelindan dengan gerakan politik aliran. Gerakan aksi bela Palestina murni gerakan kebangsaan melawan kolonialisme dan anti kemanusiaan. Gerakan mewujudkan amanat konstitusi Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia yang adil dan abadi.
Ketiga, optimalkan tokoh-tokoh mualaf terkemuka dalam dialog antar iman. Gerakan mualaf bukanlah gerakan permurtadan. Bukan gerakan pemaksaan beragama.
BACA JUGA: Menkum HAM Hadiri Pagelaran Musik dan Budaya Pemuda Batak Bersatu
Gerakan mualaf merupakan gerakan literasi. Gerakan peningkatan wawasan pengetahuan beragama berdasar literasi keagamaan secara utuh.
Para mualaf yang berkeilmuan tinggi dan moderat tentu bisa menjembatani antara muslim dan Nasrani di kawasan itu.
Tentu saja ketiga solusi itu di luar penegakan hukum. Instrumen hukum punya domain tersendiri dalam kasus ini.
ARS (rohmanfth@gmail.com), Jaksel 27-11-2023