Saya tidak perlu mengungkapkan banyaknya Masjid yang bersifat historis telah rubuh karena para pengembang membuat desain perumahan yang menyingkirkan Masjid. Rubuhnya Masjid itu paralel dengan hilangnya atau merosotnya fungsi Masjid dalam masyarakat disitu.
Kedua, seharusnya pembanding suara Adzan tidak harus gonggongan anjing. Dalam salah satu tema yang berani diusung rezim Jokowi pada G20 adalah transformasi digital.
BACA JUGA: Siasat Menjegal, Kaum Begundal dan Binal
Jika rezim ini berani menawarkan isu “digital life” pada dunia, sepantasnya isu ini ditawarkan juga pada pengembangan syiar Islam. Suara Adzan yang berbasis “voice” dapat disubtitusi dengan platform baru yang berbasis digital, untuk keperluan syiar, jika pemerintah melakukan intervensi pada pembiayaan dan edukasi.
Untuk negara yang mengklaim banyak uang, tentunya pendekatan persuasif kepada rakyat lebih dibutuhkan daripada membangkitkan kemarahan.
Namun, semua ini tergambar dari keberpihakan pemerintah atas suara Adzan. Sebagaimana tema artikel ini, suara Adzan adalah bersifat historis dibanding suara gonggongan anjing dalam keberadaan masyarakat kita.
BACA JUGA: Anies dan Puan, Pasangan Ideologis dan Relevan
Beberapa catatan yang baik
Beberapa waktu belakangan ini kita melihat langkah Kapolri Sigit Prabowo yang cukup revolusioner dalam mendekatkan diri pada ulama. Terlihat bahwa Kapolri berusaha mencari atau mencari kembali value atau moralitas bangsa yang hilang, setidaknya di institusi kepolisian.
Bahkan, dalam sebuah pesan terkait larangan tilang manual kenderaan bermotor baru-baru ini, kapolri menitipkan pesan agar polisi disemua lapisan mendekatkan diri pada agama dan ulama/pendeta.
Di daerah misalnya kita melihat Kapolda Yogyakarta mengikuti langkah Kapolri dengan sowan ke ulama Cak Nun untuk silaturahmi. Ini adalah terobosan luar biasa, karena Cak Nun adalah simbol oposisi utama terhadap rezim ini.
BACA JUGA: Menyebut Buzzer Sebagai Aktifis Fitnah
Langkah ini tentunya akan menghubungkan kembali spirit moral pada penegakan hukum ke depan, sekaligus mendorong pihak kepolisian memaknai tema-tema Islam dalam urusan sosial sebagai bagian sejarah sah bangsa kita. Sehingga, misalnya, tidak perlu polisi langsung mempidanakan Bunda Merry dalam kasus yang seharusnya didekati dengan “restorative justice”.
Tentu saja langkah ini perlu diikuti dengan membatasi berkembangnya isu-isu terorisme, radikalisme dan ekstrimisme yang dipaksakan, atau digunakan untuk politik atau salah persepsi terkait dengan isu ini.
Penutup
Bunda Merry telah membuka mata kita tentang kepahlawanan. Dia telah menghubungkan pentingnya suara Adzan yang berisi takbir dengan imajinasi kita atas peristiwa 10 November dulu, di mana pekikan Takbir menjadi simbol Indonesia Merdeka.
BACA JUGA: Aksi di Depan Kejari, Massa Aksi Sebut Kota Bekasi Darurat Korupsi
Dominasi suara Adzan terhadap suara gonggongan anjing merupakan simbol sosial bahwa keberadaan umat Islam di Indonesia haruslah dominan, bukan dalam pengertian kuantitatif, melainkan juga kualitatif.
Kualitatif artinya penguasaan umat Islam atas asset-asset strategis perkotaan maupun kekayaan alam lainnya. Itu sebagai konsekuensi perjuangan umat Islam melawan penjajahan selama ratusan tahun.
Keraguan Yaqut maupun rezim Jokowi atas dominasi Islam di Indonesia yang bersifat historis terjadi karena banyak hal, bisa politik maupun pemahaman yang salah. Pertanyaannya adalah apakah kita akan mengingkari sejarah kita sebagai sebuah bangsa?
Kita harus tetap memilih eksistensi Adzan dan Takbir. Perempuan seperti Bunda Merry yang membela eksistensi Adzan adalah pahlawan kita. Biarlah orang-orang lain memilih Rara Pawang hujan atau si Kebaya Merah sebagai pahlawan mereka.
Selamat Hari Pahlawan, Merdeka!