WAWAINEWS – Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana di wajibkan atas orang sebelum kamu, kutipan salah satu ayat 183 pada Al Baqorah. Lalu pertanyaannya siapakah orang sebelum Nabi Muhammad SAW.
“Artinya Puasa itu adalah amalan yang tua. Sebelum Nabi Muhammad SAW ada Saidina Ismail, Ishaq, mereka adalah pendahulu Rasullah. Bahkan sebelum Nabi Ibrahim pun sudah ada bahkan Saidina Adam, disebut oleh imam ibnu katsir dalam kitabnya pernah berpuasa 40 hari 40 malam,”ujar Buya Arrazy dalam kajian ilmu melalui siaran Youtube CafeRumiJakarta 3 April 2022.
Disebutkan setelah Nabi Adam berpuasa dengan sujud selama 40 hari 40 malam maka Allah SWT menerima taubatnya. Puasa juga dilaksanakan Nabi Musa AS saat dalam gua tursina selama 40 hari tidak makan dan minum.
Menurutnya puasanya Nabi Musa saat dalam gua Tursina merupakan riwayat sahih. Tapi yang pertama berpuasa dimuka bumi adalah Saidina Adam, dia lah khalifah Allah pertama di muka bumi yang berpuasa pertobatan.
“Jadi puasa itu bentuk cara kembali kepada Alah dengan cara memutuskan diri dari selain dari pada Allah, taubatnya badan adalah puasa,”jelas Buya Arrazy.
Namun demikian dia menyampaikan bahwa ternyata Puasa jadi masalah lagi, karena kata puasa itu sendiri bukan dari bahasa Arab. Puasa merupakan bahasa sansekrta. artinya Mendekatkan diri kepada yang Maha Esa.
Tapi jelasnya, maknanya pun tetap sama, puasa itu agar kamu dekat kepada Allah dengan taqwa. Puasa dalam bahasa sanskerta memiliki kesamaan, kesesuaian yang sahih
“Orang-orang zaman dulu di kalangan ahli kitab, Agama Brahamana sampai hari ini pun tetap puasa. Lalu dalam hadist qudsi Allah berfirman bahwa saum itu menahan diri dari makan minum dan zima itu adalah untuk Ku, maknanya lebih luasa menahan diri mu selain dari Ku,”jelasnya .
Imam Ibnu Arabi lanjuutnya menyebutkan orang berpuasa orang yang sedang berkhusul kepada Allah SWT, tinggal kesadaran kepada Allah, dimana bentuk kesadaran itu muncul ketika dilapas hadis atau dipertengahan hadist disampaikan, bahwa maka ketika ada yang mencaci maki atau mengatai-ngatainya, maka katakan lah aku puasa.
Maka saat itu naik dari puasa fisik menjadi non fisik, puasa emosi, karena emosi bukan pada fisik, emosi ada pada nafsiah kita. Ini disebut saum nafsiah, bukan pada fisik tapi nafsiah.
Selama ini jika tingkat puasa baru hanya menahan lapar dan haus, maka itu disebut saum badaniah, Nabi mengajak naik lagi, puasa menahan gejolak diri.