Scroll untuk baca artikel
Head LineLintas Daerah

Cinta, Cemburu, dan Pisau Dapur: Potret Kelam Rumah Tangga Indonesia di Dua Pulau

×

Cinta, Cemburu, dan Pisau Dapur: Potret Kelam Rumah Tangga Indonesia di Dua Pulau

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi

WAWAINEWS.ID – Dua pulau, dua tragedi. Satu pisau, dua kisah cinta yang kandas dalam darah. Dari Banjar, Kalimantan Selatan hingga Karimun, Kepulauan Riau, Indonesia kembali mencatat dua pembunuhan yang menggemparkan.

Suami dibunuh istri, kepala dipisahkan dari badan dan suami membunuh istri dengan 34 tusukan penuh emosi. Bila Shakespeare masih hidup, barangkali ia akan menulis ulang Romeo and Juliet, kali ini berjudul Romeo and Golok.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Kejadian pertama terjadi di Kabupaten Karimun, Kepri. Seorang pria berinisial AR membunuh istri sirinya, MR, dengan 34 tusukan. Bukan satu, bukan dua, tapi tiga puluh empat. Kalau itu soal sayuran, kita menyebutnya tumis brutal. Tapi ini manusia. Dan ironi itu nyata.

Menurut pengakuan AR, dia tersulut api cemburu setelah melihat MR, sang istri siri, berjalan-jalan dengan pria lain. Sebagai informasi tambahan, korban bukan istri resmi, bukan pula mantan, tapi masih dalam status abu-abu ala FTV dini hari. Tapi rupanya status “siri” tak menyurutkan ego dan rasa kepemilikan.

BACA JUGA :  Sakit Hati Lihatnya! Video Anak Aniaya Ibu Kandung di Bekasi Bikin Wali Kota Murka, Ini Tampangnya

“Pelaku menusuk korban di bagian dagu kiri, lalu membabi buta di seluruh tubuh,” ujar Kapolres Karimun, dengan nada serius yang tak bisa kami bumbui lagi, karena kenyataannya sudah cukup mengerikan.

Visum menyebutkan 34 luka, termasuk luka tusuk dan luka iris. Jika motif cemburu ini dikalkulasi, bisa jadi satu tusukan untuk setiap kalimat chat yang pernah dibaca pelaku dari “pria lain”.

Sementara di Banjar, Judulnya Lebih Dramatis: “Istri Penggal Suami

Di Kalimantan Selatan, tepatnya di Banjar, dunia maya digemparkan oleh berita yang nyaris seperti film horor Jepang, istri membunuh suami, lalu memenggal kepala. Sayangnya, ini bukan adegan efek spesial Netflix. Ini benar-benar terjadi di negara dengan budaya “guyub” dan “ramah tamah“.

BACA JUGA :  Terkait PHK Pendamping Desa, Wamendas Sebut TPP Tak Boleh Berpartai

Belum jelas betul motifnya, tapi seperti biasa, cemburu dan dendam lama lagi-lagi menjadi tamu tetap dalam tragedi rumah tangga.

Sinetron Kehidupan Nyata: Dari “Cemburu Buta” Jadi “Cinta Buta Nalar

Kedua kasus ini bukan sekadar berita kriminal. Mereka adalah potret kelam relasi manusia di tengah runtuhnya komunikasi, emosi yang tak terkendali, dan tentu kebiasaan menyelesaikan masalah rumah tangga dengan senjata tajam, bukan terapi atau mediasi.

Cemburu di mata masyarakat kita telah lama dianggap sebagai bentuk cinta. “Kalau dia nggak cemburu, berarti nggak sayang,” kata banyak film dan lagu. Tapi jika ujungnya adalah jenazah di kamar jenazah, mungkin sudah waktunya mengganti paradigma.

Dari Pisau ke Penjara: Tak Ada Bahagia di Akhir Cerita

Pelaku di Karimun kini ditahan, dijerat dengan pasal pembunuhan berencana, ancaman hukuman mati atau seumur hidup. Sementara di Banjar, proses hukum masih berjalan. Dan seperti biasa, publik hanya bisa menyimak, mengutuk, lalu lupa hingga kasus berikutnya datang dengan headline lebih ngeri.

BACA JUGA :  Warga Sekampung Udik Nyaris Jadi Korban Penusukan Sajam di Desa Tanjung Aji, Polisi Diminta Tangkap Pelaku

Yang tragis, semua ini terjadi di tengah kampanye nasional tentang kekerasan dalam rumah tangga dan kesehatan mental. Tapi seperti biasa, kampanye tinggal kampanye, karena realitas lebih cepat bertindak daripada kebijakan.

Indonesia adalah negeri yang katanya menjunjung nilai kekeluargaan. Tapi tampaknya banyak yang lupa bahwa keluarga tidak dibangun dengan kepemilikan, melainkan dengan komunikasi dan penghormatan. Dan jelas, pisau bukan bentuk validasi cinta.

Dari Banjar hingga Karimun, dari emosi hingga tragedi, satu pesan mengendap dalam darah, jangan biarkan konflik rumah tangga menjadi konten kriminal yang mengisi beranda berita. Kita butuh lebih banyak ruang bicara, bukan liang kubur tambahan. ***