TANGGAMUS — Kisah lama dengan bab baru, dana desa kembali diselewengkan. Kali ini panggungnya di Pekon Gunung Tiga, Kecamatan Pugung, Kabupaten Tanggamus, Lampung.
Di negeri di mana dana desa seharusnya menumbuhkan harapan, Pekon Gunung Tiga justru menumbuhkan kecurigaan.
Pemeran utamanya: sang kepala pekon, M. Hijrah Syahputra, yang bukan orang sembarangan selain menjabat kepala pekon, ia juga Ketua DPD APDESI Provinsi Lampung. Benar, pemimpin asosiasi perangkat desa diduga justru ikut “bermain” di dana desa.
Temuan ini bukan gosip warung kopi. Inspektorat Kabupaten Tanggamus, lewat pemeriksaan menyeluruh yang dilakukan beberapa waktu lalu, mendapati dugaan mark up anggaran dalam pengadaan barang dan jasa baik kegiatan fisik maupun nonfisik yang bersumber dari Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) tahun anggaran 2022–2024. Total kerugian negara? Lebih dari Rp300 juta.
“Dari hasil pemeriksaan Irban V, ditemukan adanya kelebihan pembayaran di beberapa kegiatan. Nilainya mencapai tiga ratus juta lebih,” ujar Gustam, Sekretaris Inspektorat Tanggamus, dengan nada datar khas pejabat yang sudah terlalu sering menemukan kejanggalan serupa.
Temuan ini, katanya, merupakan tindak lanjut dari laporan BHP Pekon Gunung Tiga dan Ormas GRIB Jaya Tanggamus ke Cabjari Talang Padang, mengenai belum dibayarkannya Siltap aparatur pekon serta dugaan mark up di sejumlah kegiatan.
Dengan kata lain, bukan hanya jalan dan jembatan yang “naik anggaran”, gaji perangkat desa pun ikut tersendat di tikungan.
“Berkas hasil pemeriksaan sudah di ruang Sekda, tinggal menunggu ditandatangani. Setelah itu baru bisa kami umumkan detailnya,” lanjut Gustam.
Dalam bahasa birokrasi, kalimat itu biasanya berarti tunggu saja, masih menunggu tanda tangan yang mungkin lama, atau tidak sama sekali.
Namun Gustam memastikan, hasil pemeriksaan akan dilaporkan ke Kejaksaan, mengingat pemeriksaan ini adalah limpahan resmi dari Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) Talang Padang.
Sesuai aturan, M. Hijrah Syahputra diberi waktu 60 hari kerja sejak keluarnya Lembar Hasil Pemeriksaan (LHP) untuk mengembalikan kerugian negara ke kas pekon. Kalau tidak, ya, tinggal tunggu babak “drama hukum” berikutnya.
Ironinya, kasus ini muncul di tengah semangat pemerintah mendorong “transparansi dana desa”. Tapi di lapangan, transparansi sering disalahartikan bukan keterbukaan informasi, tapi tembus pandang uangnya ke kantong tertentu.
Rakyat di bawah sudah bosan dengan kalimat klise “kami akan tindaklanjuti sesuai aturan”. Mereka ingin bukti bahwa aturan itu bukan sekadar kutipan di baliho saat Musrenbang. Karena yang mereka butuhkan bukan pidato tentang akuntabilitas, melainkan jalan yang tidak berlubang dan gaji perangkat desa yang tidak hilang arah.
Dan mungkin, kalau boleh sedikit berandai, alangkah baiknya jika para pengelola dana desa mengingat: anggaran itu bukan warisan, tapi amanah.
Sebab dari Gunung Tiga ini, pelajaran terpenting justru datang dari ketinggian semakin tinggi jabatan, semakin besar pula risiko jatuhnya apalagi kalau licin karena uang rakyat.***










