Scroll untuk baca artikel
Opini

Dari Mana Jokowi (Orang Jawa) Belajar Politik

×

Dari Mana Jokowi (Orang Jawa) Belajar Politik

Sebarkan artikel ini
Presiden Jokowi saat menyampaikan pidato kenegaraan menjelang HUT RI ke-76, Senin (16/8/2021)

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

WAWAINEWS.ID – Presiden Jokowi merupakan salah satu prototype politisi Jawa yang tidak jelas pendidkan politiknya. Ia bukan pengusaha kelas konglomerat. Sebatas pengusaha mebel level kota sedang. Lingkup Solo.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Tidak menempuh pendidikan politik. Lulusan jurusan kehutanan. Tidak terpantau sebagai anggota kaderisasi politik jenjang kemahasiswaan. Misal: aktivis HMI, GMNI, PMII.

Karir politiknya cemerlang. Terpilih sebagai walikota Solo. Melompat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Kemudian menjadi presiden dua periode. Melawan kandidat-kandidat pengalaman.

Eksistensi politiknya tidak goyang hingga akhir jabatan. Bahkan masih menitipkan anak-anak dan koleganya pada rezim pemerintahan berikutnya. Fakta itu cukup membuktikan ia sosok politisi lihai. Seburuk apapun cibiran dan framming digelontor kepadanya.

Presiden Soekarno, jebolan “kaderisasi Paneleh”. Anak didik Cokroaminoto: aktivis keummatan dan kebangsaan. Di gang Paneleh Surabaya. Masih memiliki reputasi kaderisasi politik. Walau ia sekolah teknik di ITB.

Pada eranya Soekarno sebenarnya juga kalah pamor secara keilmuan. Dibanding Hatta, Sjahrir, Tan Malaka. Maupun tokoh-tokoh jebolan Belanda.

BACA JUGA :  Rocky Gerung Sampaikan Permohonan Maaf Kerena Ucapannya Menimbulkan Kegelisahan dan Kegaduhan Publik

Soekarno hanya aktivis jalanan. Akan tetapi ia mengalahkan tokoh-tokoh lainnya. Dipercaya memproklamirkan kemerdekaan dan memimpin bangsa.

Reputasi Presiden Soeharto lebih menggelitik. Jebolan setara SMP. Kelebihannya: memiliki dua tradisi pendidikan kemiliteran modern pada zamannya. KNIL (Belanda) dan PETA (Jepang). Bekal utama memasuki zaman baru.

Era dimana ketrampilan melawan musuh di medan tembak sangat diperlukan. Berjuang mempertahankan kemerdekaan. Ia tumbuh menjadi pemimpin militer dan kemudian pemimpin politik bangsa ini dalam jangka panjang.

Habibie-Gus Dur-Megawati, tidak cukup bisa dibahas panjang dalam tema ini. Mereka memimpin dalam durasi singkat. Kemunculannya juga diupgrade pamor pendahulunya. Habbie, orang dalam orba. Gus Dur cucu pendiri NU. Megawati putri Bung Karno.

SBY muncul memiliki bekal sebagai sospol ABRI. Ia bukan nomer satu dalam leadership TNI pada masanya. Ada Jenderal Wiranto di internal ABRI.

Di eksternal ada Megawati. Pamornya sedang tinggi. Incumbent. SBY menjadi penantang dan memenangkan kompetisi sebagai presiden.

BACA JUGA :  Bitung, Jauhkan dari Politik Aliran

Prabowo berkali-kali gagal. Ia terpilih sebagai presiden pada 2024. Salah satunya berkoalisi dengan presiden sebelumnya. Berlatar sebagai prajurit tempur dan pengusaha.

Apa yang bisa menjelaskan fenomena seperti Jokowi. Tidak ada relasi dengan sejarah pendidikan dan kaderisasi politik. Akan tetapi tumbuh sebagai politisi yang tidak mudah dirobohkan.

Jawabannya bisa disodorkan hipotesa sederhana: Wayang dan Ketoprak. Kedua seni pagelaran itu popuper dalam masyarakat Jawa. Media transformasi “sadar kekuasaan” bagi masyarakat Jawa.

Wayang menyajikan tema falsafah hidup, spirit kekuasaan, benturan antara keburukan dan kebaikan. Ketoprak merupakan seni teatrikal. Menyajikan kisah jatuh bangun rezim di tanah Jawa. Penyebab-penyebabnya. Spirit dan falsafah yang melatari.

Peradaban Jawa sudah sangat tua. Tumbuh sejak lama. Banyak jatuh bangun kekuasaan di dalamnya. Dari berbagai rezim. Banyak pelajaran dan doktrin-doktrin kekuasaan bisa didapat darinya.

Seni pagelaran wayang dan ketoprak digelar intensif. Pada momen-momen hajatan masyarakat. Disaksikan tua muda.

Masyarakat menikmati dua seni pagelaran itu mulai masa kanak-kanak hingga dewasa. Setiap minggu bisa dicari wayang atau ketoprak digelar. Terutama wayang.

BACA JUGA :  Presiden Targetkan Ekspor Otomotif Nasional Capai 1 Juta Unit di 2024

Menjadikan inti pesan dalam kedua pagelaran itu mencoraki pola pikir masyarakat. Jika diajarkan dalam materi ilmu politik, bisa banyak SKS.

Melebihi orang kuliah dari jenjang S1 s.d S3. Referensi tentang falsafah dan pola-pola jatuh bangun kekuasaan itu menjadi familiar bagi masyarakat Jawa.

Maka tanpa belajar ilmu politik secara spesifik, masyarakat Jawa sudah dibentuk sadar kekuasaan. Melalui kisah jatuh bangunnya berbagai rezim tanah nusantara. Dalam durasi paradaban panjang.

Barangkali prototype orang Jawa seperti Presiden Jokowi bisa dipahami dari sudut pandang seperti itu. Secara sosio kultur dibentuk untuk sadar kekuasaan. Melalui proses dan durasi yang panjang. Oleh Wayang dan Ketoprak.

Jika hipotesa itu benar, output kaderisasi politik modern harus intrespeksi. Referensinya soal kekuasaan memang kurang luas. Dibanding penonton wayang dan ketorprak.

Siapa suka nonton wayang dan ketoprak ?

ARS (rohmanfth@gmail.com), Jaksel, 13-09-2024