Scroll untuk baca artikel
Opini

Demokrasi dan Naiknya Harga Beras

×

Demokrasi dan Naiknya Harga Beras

Sebarkan artikel ini
Robby Patria
Robby Patria Tenaga Pengajar Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang

Robby Patria*

WAWAINEWS.ID – Kita sudah menentukan pilihan siapa presiden terpilih pun sudah diketahui melalui hitung cepat. Namun kecerian usai pesta pemilu dihantui oleh kenaikan harga beras mulai merangkak naik di luar nalar. Dan paling parah adanya dugaan praktik jual beli suara terdengar namun tak banyak ditemukan pengawas pemilu.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Sambil menunggu keputusan akhir KPU siapa yang menang, setidaknya kita perlu banyak berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena nasib bangsa lima tahun ke depan akan sudah kita tentukan.

Apakah kita akan terus menjadi negara dengan kategori demokrasi cacat atau lebih turun lagi?Banyak lembaga kredibel dunia menyebutkan demokrasi Indonesia kategori cacat. Kita harus terima cap kondisi itu tahun 2022.

Terkonfirmasi oleh laporan terbaru Economist Intelligence Unit (EIU), bahwa indeks demokrasi Indonesia meraih skor 6,71 pada 2022.

Skor tersebut sama dengan nilai yang diperoleh Indonesia pada Indeks Demokrasi 2021, dan masih tergolong sebagai demokrasi cacat (flawed democracy). Meski nilai indeks tetap, ranking Indonesia di tingkat global menurun dari 52 menjadi 54.

Bayangkan jika dilakukan analisis tahun 2024 di mana proses demokrasi kita semakin menurun kualitasnya dengan banyak intervensi pemaksaan dan pelanggaran terhadap norma normal bernegara.

Selain dari The Economist Unit, banyak indikator, demokrasi kita dalam kondisi persimpangan jalan yang pelik.

Penurunan kualitas demokrasi kita terlihat dari beberapa indikator seperti; yakni proses elektoral dan pluralisme sebesar 7,92, keberfungsian pemerintahan sebesar 7,86, partisipasi politik sebesar 7,22, budaya politik dengan skor 4,38, dan kebebasan sipil sebesar 6,18 dengan skala 0-10.

Kita bisa mengira ngira bagaimana penilaian demokrasi Indonesia tahun 2024? Bisa jadi lebih dari kategori cacat.

Rendahnya skor budaya politik dan kebebasan sipil ini terkonfirmasi pula dengan laporan Freedom House, salah satu think tank di Amerika Serikat yang mengukur status kebebasan global. Status Indonesia belum mampu beranjak dari setengah bebas (partly free), bahkan kian merosot dari tahun ke tahun.

Hanya saja, pada 2022, sebagaimana indeks demokrasi dari laporan EUI, kondisi kebebasan kita juga tak jauh berbeda dari tahun 2021, yaitu berada pada skor 59, dengan skala 0-100.

Skor ini lebih rendah dari skor beberapa tahun sebelumnya, yaitu 61 (2020), 62 (2019), 64 (2018), dan 65 (2017) (Afrizal, 2023).

Menurut Hans-Jürgen Puhle, demokrasi suatu negara bermasalah bahkan cacat biasanya disebabkan oleh lemahnya dan tidak diterapkannya norma-norma dan aturan-aturan, serta jaminan hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil yang kewenangannya bergantung pada formalitas mereka.

Semakin banyak institusi yang tidak ada atau tidak berfungsi atau tidak dihormati, dan semakin banyak proses dan institusi formal digantikan oleh mekanisme dan interaksi informal, klientelistik atau populis, maka semakin terkikis dan tidak ada lagi jaminan demokrasi. otoritas aturan main akan tertahan, dan cacat demokrasi akan terakumulasi

Dengan kondisi pemilu 2024 dirisaukan para guru besar dan aktivis pemilu, maka demokrasi yang kita harapkan masih tak sesuai harapan.

Jadi ingat suatu kalimat yang dikemukakan oleh Winston Churchill, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling buruk dibandingkan bentuk pemerintahan lainnya .

Biaya Politik

Begitu juga dengan mereka yang sedang berjuang untuk menjadi anggota legislatif. Ribuan calon anggota legislatif dihadapkan dengan dilema cost politics yang besar.

Hanya mereka yang memiliki sumber daya financial yang kuat bisa memenangkan kompetisi 2024.

Demokrasi kita seperti kehilangan arah. Karena sistem pasar dan liberal membuat demokrasi kita menjauh dari demokrasi Pancasila. Lebih jauh riset Burhanuddin Muhtadi, banyak pemilih terpapar money politics yang membuat demokrasi berbiaya mahal.

Efeknya terjadi korupsi di mana mana untuk mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan.

Diperkuat dengan Aspinall, di dalam buku Democracie for Sale. Dalam buku itu, Aspinall melakukan riset dan cermatan memperlihatkan bagaimana di setiap tingkatan, institusi-institusi formal dibayang-bayangi oleh dunia gelap koneksi personal dan pertukaran klientelistik.

Dalam risetnya Aspinal ditemukan para politisi memenangi pemilihan dengan mendistribusikan projek-projek berskala kecil, memberukan uang tunai atau barang kepada para pemilih; mereka mendapatkan dana untuk membiayai kampanye mereka dengan memperjual-belikan kontrak, perizinan dan manfaat-manfaat lainnya dengan para pengusaha; dan mereka juga terlibat dalam pertarungan yang tak ada ujungnya dengan politisi saingan mereka dan dengan birokrat untuk merebut kendali atas sumber-sumber daya negara dalam rangka membiayai kegiatan politik mereka.