Scroll untuk baca artikel
Lampung

Diam-diam Lapak Sabut Kelapa Milik WNA di Lahan Register 38 Lamtim, Sudah Beroperasi?

×

Diam-diam Lapak Sabut Kelapa Milik WNA di Lahan Register 38 Lamtim, Sudah Beroperasi?

Sebarkan artikel ini
foto lokasi pabrik pengolahan sabut kelapa di register 38 - foto kolase Jali

LAMPUNG TIMUR — Sebuah pabrik atau lapak pengolahan sabut kelapa disebutkan milik warga negara asing (WNA) asal Korea, diam-diam ternyata beroperasi meskipun menjadi sorotan karena disebut ilegal berada di kawasan hutan lindung Register 38, Gunung Balak, tepatnya di sekitar Simpang Wakidi, Desa Bandar Agung, Sribhawono.

Sebelumnya, dikatakan bahwa Bangunan permanen yang berdiri megah untuk Lapak Sabut Kelapa diduga tak mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB), hanya bermodal izin lingkungan yang diklaim telah diberikan ke pihak desa.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Ironisnya, baik Kepala Desa Bandar Agung maupun aparat dusun setempat mengaku tak tahu-menahu soal pendirian bangunan berskala besar tersebut.

Pantauan langsung di lokasi bahwa Bangunan itu tak punya plang nama, namun kesibukan di dalamnya menunjukkan bahwa aktivitas sudah berjalan. Pabrik itu mengolah sabut kelapa diam-diam, sejak dua minggu lalu.

BACA JUGA :  Belum Tuntas, AKRAP Minta Polisi Tangkap Dua Pelaku Kekerasan Seksual di Lampung Timur

Seorang pekerja yang ditemui di lokasi mengakui bahwa perusahaan tersebut sudah menerima pembelian sabut kelapa, meskipun saat ini aktivitas terhenti karena terkendala bahan.

“Ini perusahaan serabut kelapa, sudah dua mingguan ini jalan. Tapi sekarang kosong karena bahan belum ada,” ungkapnya kepada Wawai News, Rabu, 4 Juni 2025.

Dari luar, bangunan itu terlihat kokoh, berdiri di atas tanah yang masuk kawasan hutan lindung Register 38, wilayah yang seharusnya steril dari aktivitas industri.

Di halamannya terparkir satu alat berat, diduga untuk membantu proses penataan atau pengolahan bahan baku sabut.

Yang menarik, bangunan ini disebut-sebut milik warga negara Korea, dengan pengelolaan harian dipegang oleh seorang manajer lokal bernama Ibu Shinta.

“Ini katanya bosnya orang Korea, tapi yang ngatur di sini itu Ibu Shinta,” tambah pekerja.

Menariknya saat dikonfirmasi seluruh pekerja di lokasi berasal dari luar daerah, seperti Lampung Selatan.

BACA JUGA :  Wakapolres Tanggamus Pimpin Upacara Sumpah Pemuda

Bangunan Tanpa Nama, Izin Tanpa IMB

Pemerintah desa mengaku hanya mengetahui adanya izin lingkungan yang diajukan ke warga. Tak ada permohonan untuk izin mendirikan bangunan (IMB), apalagi skala besar seperti yang kini berdiri megah di tengah kawasan konservasi.

Kepala Desa Bandar Agung, Aldi Guntoro, menegaskan bahwa pihaknya sudah mengingatkan agar pemilik segera mengurus izin bangunan.

“Kami hanya menerima surat izin lingkungan. Kami sudah ingatkan agar segera urus IMB. Jangan sampai ini menimbulkan masalah hukum di kemudian hari,” ujar Aldi.

Pernyataan itu turut diamini oleh Kepala Dusun VII, Akad, yang merasa pembangunan ini menyalahi kesepakatan awal.

“Kalau lihat sekarang, jelas-jelas itu melanggar. Bukan seperti yang dulu diajukan,” tegasnya.

Sulit Ditemui, Sulit Dijangkau

Miswantori, Kepala Seksi Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Gunung Balak Register 38, mengaku sudah mengetahui keberadaan bangunan tersebut sejak awal.

BACA JUGA :  Alasan Gantian dengan Timses, Kakon Garut Pecat 4 Aparatur

Pihaknya bahkan telah menyusun laporan dan mengirim nota dinas ke Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.

Namun, sejauh ini, pemilik bangunan disebut sulit ditemui. Beberapa kali petugas datang ke lokasi, tapi selalu gagal bertemu dengan pengelola utamanya.

“Sudah kami laporkan, tapi sampai sekarang pemilik belum pernah bisa ditemui langsung,” ujarnya, Selasa, 3 Juni 2025.

Antara Investasi dan Pelanggaran

Kehadiran pabrik sabut kelapa ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah aktivitas ekonomi bisa mengabaikan aturan, terutama ketika terjadi di kawasan konservasi? Siapa yang bertanggung jawab ketika sebuah perusahaan asing bisa beroperasi tanpa IMB di hutan lindung?

Sementara itu, bangunan tanpa nama itu tetap berdiri, menunggu kiriman sabut kelapa berikutnya. Dan desa di sekitarnya hanya bisa berharap, bahwa semua ini tak berubah menjadi masalah yang lebih besar.***