LAMPUNG — Pemerintah Provinsi Lampung mencoba menancapkan bendera, kebudayaan lokal tak boleh kalah di kandang sendiri ditengah gempuran K-pop, drakor, dan anime yang sudah sukses “mencuci otak” generasi muda dari Sabang sampai Merauke.
Gubernur Lampung lewat sambutan tertulis yang dibacakan Kepala Dinas Kominfotik menegaskan bahwa kebudayaan adalah pilar pembangunan. Tidak hanya jadi hiasan di baliho HUT daerah atau bahan lomba kostum karnaval, tapi benar-benar dijadikan ruh pembangunan: menjaga yang luhur, merangkul yang baru, dan memastikan anak cucu masih kenal arti “Nyambai” tanpa harus googling.
Tema diskusi yang digelar pada Senin 11 Agustus 2025, “Budaya Daerah sebagai Identitas Nasional”, mengingatkan bahwa kebudayaan daerah bukan sekadar pelengkap identitas di KTP atau motif taplak meja di ruang tamu. Ia adalah jantung identitas nasional yang kalau berhenti berdetak, kita semua bisa kehilangan rasa.
Gubernur juga menyentil peran media. Bukan cuma jadi pengabar “festival ini” atau “peresmian itu”, tapi juga pengarah nilai. Kalau media hanya sibuk memviralkan joget TikTok tanpa menjelaskan makna gerak tari asli Lampung, lama-lama generasi muda akan mengira Sigeh Penguten adalah nama minuman kekinian.
Ganjar Jationo, Kepala Dinas Kominfotik, mengajak semua pihak menengok strategi budaya Jepang dan Korea. Dua negara ini modal kebudayaannya sebenarnya “irit” dibanding Indonesia, tapi berhasil mengekspor budayanya sampai ke ruang tamu orang Lampung lengkap dengan subtitel.
“Kalau kita bicara kebudayaan, sering dianggap bicara masa lalu. Padahal, lihat saja Korea dan Jepang, kebudayaan mereka bisa jadi masa depan, bahkan masa depan kita,” ujarnya.
Ketua PWI Lampung, Umar Wirahadikusumah, mengaku miris: di Lampung, diskusi kebudayaan sudah langka. “Budaya harus jadi landasan pembangunan. Bukan cuma dibicarakan saat festival, tapi diterapkan dalam kebijakan, sehingga hasilnya nyata di daerah,” ujarnya.
Bang Wira, mengajak semua pihak menjaga budaya Lampung agar tak hanya jadi foto kenangan, tapi bisa naik panggung nasional bahkan internasional.
Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber: tokoh budaya Lampung Anshori Djausal, tokoh adat Lampung Mawardi Harirama, dan Ketua Dewan Kesenian Lampung Satria Bangsawan. Moderator Edi Purwanto memandu jalannya acara, memastikan diskusi tidak berubah jadi reuni tokoh lama atau lomba nostalgia.
Dengan semangat “Bersama Lampung Maju Menuju Indonesia Emas”, pemerintah bertekad menjadikan budaya sebagai tameng di tengah globalisasi. Harapannya, budaya Lampung bukan hanya eksis di brosur pariwisata, tapi juga bisa menembus Netflix bukan sebagai cameo, tapi pemeran utama.***