Scroll untuk baca artikel
TANGGAMUS

Drama Kepsek di Ulu Belu Tanggamus, Dari Kepala Sekolah Jadi ‘Kepala Stress’ Gara-Gara Oknum Wartawan

×

Drama Kepsek di Ulu Belu Tanggamus, Dari Kepala Sekolah Jadi ‘Kepala Stress’ Gara-Gara Oknum Wartawan

Sebarkan artikel ini
Foto: Ilustrasi Kepsek setres gara-gara oknum wartawan di Kecamatan Ulu Belu, Kabupaten, Tanggamus, (foto_ilustrasi)

TANGGAMUS – Rupanya jadi Kepala Sekolah (Kepsek) di Kecamatan Ulu Belu, Kabupaten Tanggamus, Lampung, itu bukan cuma harus paham kurikulum, tapi juga harus siap menghadapi “ujian harian” dari oknum wartawan. Bukan ujian matematika atau IPA, tapi ujian mental ala investigasi abal-abal.

Bagaimana tidak? Hampir setiap hari para kepsek kedatangan “rombongan oknum wartawan serba bisa“. Pagi jago parkir, siang jadi wartawan, sore mungkin bisa nyambi tukang fotokopi. Hebatnya lagi, mereka lebih rajin datang ke sekolah daripada murid yang bolos.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Seorang kepsek yang minta namanya disensor (biar besok nggak diburu “oknum”) bilang, setiap kali pencairan dana BOS, sekolahnya jadi kayak minimarket diskon besar-besaran, rame dan penuh antrian wartawan.

BACA JUGA :  Jadi Pegawai Primadona, Angka Pengangguran di Pringsewu Sentuh 4,77 Persen

“Awalnya nanya soal BOS, ujung-ujungnya sodorin MoU langganan media. Kalau kami nolak, langsung ancam, siap-siap viral dan dipolisikan. Jadi wartawan atau debt collector, kita juga bingung,” curhat sang kepsek sambil ngelus dada, dikutip Wawai News, Sabtu (23/8/2025).

Fenomena ini bikin para kepsek hampir kompak resign berjamaah. Ketua K3S Ulu Belu, Iskandar, mengaku sejak 2023 sampai 2024 ada sembilan kepsek yang benar-benar menyerah. Bukan karena gagal UN, tapi gagal melawan intimidasi.

“Jabatan ini amanah. Tapi kalau tiap hari dihantam oknum, lama-lama amanah berubah jadi amarah,” kata Iskandar getir, sebagaimana dikutip Wawai News, pada Sabtu 23 Agustus 2025.

Yang bikin makin kocak, setiap pencairan BOS bisa datang 60 wartawan sekaligus. Kalau dikumpulin, bisa bikin acara Konferensi Pers Akbar. Padahal sekolahnya cuma punya tiga ruang kelas, satu mushola, dan satu WC yang bocor.

BACA JUGA :  UMKM Dipalak Ala Sultan: Bapenda Tanggamus Tiba-tiba Mau Jadi Investor Kantin?

Ada yang nawarin langganan media, ada yang maksa jual barang dengan harga bikin pusing, ada juga yang minta uang bensin. Kalau dikalkulasi, biaya ‘silaturahmi wartawan’ ini bisa lebih gede daripada biaya rehab kelas rusak.

Seorang pejabat SPLP juga ngakak miris saat ditanya soal fenomena ini. “Banyak banget oknum wartawan. Pagi jadi tukang parkir, siangnya ke sekolah jadi wartawan. Malamnya mungkin bisa jadi dukun juga,” ujarnya setengah bercanda.

Yang jelas, kalau praktik ini dibiarkan, pendidikan bisa tamat sebelum anak-anak tamat SD. Kepala sekolah tugasnya mendidik murid, bukan meladeni ‘murid ilegal’ yang datang bawa kartu pers abal-abal.

Negara mestinya hadir, bukan sekadar hadir saat upacara bendera. Polisi, Pemkab, sampai DPRD jangan cuma jadi penonton. Kalau tidak, dunia pendidikan akan terus jadi panggung stand up comedy pemerasan berkedok jurnalistik.

BACA JUGA :  Waduh! Puluhan Siswa SD Mual dan Muntah Usai Santap Menu MBG di Pugung, LPKNI: Pengawasan Nol Besar!

Ingat! Wartawan tugasnya cari kebenaran, bukan cari-cari kesalahan sambil minta uang bensin. Dan kepsek tugasnya mengajar murid, bukan mengajar oknum cara menulis berita ancaman. ***