Scroll untuk baca artikel
Budaya

Festival Limo Migo, Simfoni Budaya dari Enam Desa dalam Menjaga Warisan Leluhur di Lampung Timur

×

Festival Limo Migo, Simfoni Budaya dari Enam Desa dalam Menjaga Warisan Leluhur di Lampung Timur

Sebarkan artikel ini
Taman Purbakala Pugung Raharjo
Batu Kelamin, situs magelitik di areal Taman Purbakala Pugung Raharjo, Kabupaten Lampung Timur

LAMPUNG TIMUR – Di tengah gempuran budaya modern yang terus melaju, masih ada sekelompok desa tergabung dalam ikatan budaya Sekappung Limo Migo di Lampung Timur, tetap menjaga denyut tradisi yang tak pernah padam.

Kebandaran Sekappung Limo Migo, sebuah ikatan adat dari enam desa yang meskipun terpisah kecamatan yakni Sekampung Udik dan Marga Sekampung, tapi berpadu dalam satu jiwa budaya.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Tahun ini, semangat itu akan kembali hidup dalam Festival Adat Seni Budaya Limo Migo, yang akan digelar di Lapangan Merdeka Desa Peniangan, pada 25 Juni 2025.

Hamparan hijau Lapangan Merdeka Desa Peniangan di Kecamatan Marga Sekampung, akan berubah menjadi panggung besar bagi sejarah, identitas, dan kebanggaan lokal yang dibungkus dalam tema Festival Adat Seni Budaya Limo Migo akhir Juni ini.

Bukan sekadar perayaan, festival ini adalah perwujudan cinta terhadap akar budaya, sekaligus ajakan untuk tidak melupakan asal-usul di tengah arus modernisasi.

Festival ini bukan hanya perayaan biasa. Ia adalah napas panjang dari warisan Kebandaran Sekappung Limo Migo, sebuah kesatuan adat yang terdiri dari enam desa induk yakni Gunung Raya, Peniangan, Batu Badak, Gunung Sugih Besar, Bojong, dan Toba.

Enam desa yang meski tersebar di kecamatan berbeda, namun memiliki satu darah budaya yang sama, menyatu dalam ikatan yang tidak tergoyahkan oleh sekat administratif.

“Ini bukan soal hiburan semata. Ini tentang memperkenalkan siapa kita, dan mengingatkan anak cucu agar tidak lupa akar,” ujar Kausar, Ketua Pelaksana Festival, penuh semangat usai rapat koordinasi bersama tokoh adat dan pemerintah daerah.

Ritual adat, tari-tarian khas, musik tradisional, hingga pameran kerajinan tangan, akan mewarnai festival ini.

Tak ketinggalan, kuliner tradisional pun akan menggoda indera pengunjung, menyajikan cita rasa yang lahir dari dapur-dapur warisan nenek moyang.

Namun di balik segala kemeriahan itu, tersembunyi misi yang lebih dalam untuk melestarikan identitas dan jati diri budaya lokal.

Di zaman di mana budaya asing datang tanpa permisi lewat layar ponsel, Festival Limo Migo di Lampung Timur hadir sebagai pengingat bahwa akar budaya adalah kompas bagi masa depan.

“Festival ini kami harapkan menjadi jendela, agar masyarakat luas tahu bahwa Lampung Timur punya kekayaan budaya luar biasa. Tapi lebih penting lagi, agar generasi muda kita bangga dan mau mewarisinya,” tambah Kausar.

Semangat gotong royong kini mulai terasa. Warga dari keenam desa bersiap, mulai dari menyiapkan kostum adat, melatih anak-anak menari, hingga menata stan kuliner.

Tak hanya para tetua adat, para pemuda pun ikut turun tangan menjahit masa lalu dengan benang-benang masa depan.

Ketika tanggal 25 Juni tiba, bukan hanya pertunjukan yang akan disaksikan. Melainkan detak hidup dari budaya yang terus menyala, dipeluk erat oleh masyarakat yang tak mau sekadar menjadi penonton dalam sejarahnya sendiri.

Festival Limo Migo bukan hanya milik enam desa itu, ia adalah milik Lampung Timur, bahkan Indonesia, sebagai potret kecil dari mozaik budaya Nusantara yang tak ternilai harganya.***