TANGGAMUS — Terletak di antara Kecamatan Kota Agung dan Gisting, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, berdirilah Gunung Tanggamus, tegak tapi sabar diam-diam mengamati manusia yang terus datang dan pergi di bawah kakinya.
Dengan ketinggian sekitar 2.100 meter di atas permukaan laut, gunung ini bukan sekadar tumpukan batu dan pepohonan, tapi semacam “arsip hidup” tentang alam, waktu, dan ketekunan.
Tak banyak yang tahu, Tanggamus bukanlah gunung yang sering jadi bahan obrolan para pendaki urban di kafe-kafe kopi. Ia jarang masuk daftar “gunung favorit” di media sosial.
Tapi justru di situlah pesonanya. Ia seperti kawan lama yang tak suka bicara banyak, tapi setiap pertemuan dengannya selalu berarti.
Alam yang Mistis, Jalur yang Egois
Dari puncaknya, pandangan bisa melayang jauh ke Teluk Semaka hamparan laut yang tampak seolah memeluk kaki gunung. Dua dunia yang berbaur: air dan batu, garam dan lumut. Di sinilah definisi “alam tak terpisahkan” menjadi nyata.
Namun, untuk sampai ke sana, jangan harap jalan mulus. Jalur pendakiannya bukan cuma menanjak tapi seperti sedang diajak “berdebat” oleh alam.
Dari pos pertama saja, pendaki sudah dipaksa memanjat seolah sedang menaklukkan dinding ego. Gunung ini kecil, iya, tapi congkak. Tingginya hanya dua ribuan meter, tapi rasanya seperti empat ribu.
“Tenagamu belum cukup? Ya sudah, pulang dulu, nanti datang lagi,” seakan begitu sindiran halus dari Tanggamus.
Tak ada savana luas, tak ada dataran manja untuk sekadar selonjor. Yang ada hanya akar-akar pohon, tanah licin, dan kabut yang datang tanpa janji. Tapi di situlah letak kejujurannya alam yang tidak menipu dengan keindahan yang instan.
Jejak Geologi dan Ekologi yang Diam tapi Dalam
Sekitar 40 persen wilayah Tanggamus adalah daerah berbukit dan bergunung. Gunung Tanggamus sendiri bukan gunung berapi aktif, tapi lapisan tanahnya menyimpan sejarah panjang pembentukan bumi Lampung. Ia menjadi reservoir air, penyaring udara, dan pelindung kehidupan di lembah dan pesisir.
Sayangnya, manusia sering baru sadar setelah kehilangan. Penebangan liar, kebakaran hutan, atau eksploitasi lahan membuat gunung ini pelan-pelan batuk. Dan ketika ia batuk, bukan hanya daun yang jatuh tapi masa depan yang ikut guncang.
Di sisi lain, Gunung Tanggamus menjadi ruang belajar ekologi paling jujur: siapa pun yang menapaki jalurnya akan tahu arti “cukup” cukup air, cukup langkah, cukup napas.
Akses dan Jalur: Antara Penasaran dan Penyesalan
Pendakian biasanya dimulai dari Desa Sidokaton, Gisting atau sekitar 10 kilometer dari Kota Agung. Dari ujung jalan aspal, petualangan dimulai. Hutan, akar, kabut, dan kesunyian akan jadi teman bicara.
Ada area camping ground di ketinggian sekitar 986 meter, tempat pendaki bisa beristirahat atau mempertanyakan keputusan hidupnya: “Ngapain juga tadi mau naik?”
Waktu terbaik mendaki tentu saat cerah, tapi kabut tipis justru mempermanis suasana. Ia menambah unsur drama, seperti tirai yang sengaja dibuka perlahan agar penonton tak langsung tahu akhir ceritanya.
Dan kalau beruntung, di tengah kabut itu, pendaki bisa mendengar suara serangga, ranting patah, atau sekadar desau angin — semua jadi orkestra alam yang tak bisa disamai Spotify mana pun.
Gunung, Manusia, dan Kebersahajaan
Bagi masyarakat sekitar, Gunung Tanggamus bukan hanya latar pemandangan, tapi bagian dari identitas. Ia memberi air, menjaga udara, dan menyediakan kayu tapi juga menuntut hormat. Bagi mereka, gunung bukan tempat menaklukkan, melainkan tempat menyembuhkan.
Setiap pendaki lokal yang bermalam di area perkemahan membawa ritual tak tertulis: nyalakan api unggun, seduh kopi pahit, dan berbagi cerita hidup yang tak terselesaikan. Di sana, alam menjadi psikolog paling sabar.
Sementara itu, geliat wisata alam membawa dua sisi mata uang: ekonomi tumbuh, tapi alam menurun. Tantangannya jelas bagaimana pariwisata bisa menumbuhkan masyarakat tanpa menumbangkan gunungnya.
Tantangan dan Peluang: Alam Tak Butuh Hero, Hanya Butuh Pengertian
Tantangan:
- Jalur menantang, fasilitas terbatas, tapi itulah yang menjaga Tanggamus tetap “otentik”.
- Tekanan wisata dan eksploitasi hutan yang mengancam keseimbangan ekologi.
- Cuaca dan kabut yang sering berubah — seperti mood gunung yang sulit ditebak.
Peluang:
- Tanggamus bisa jadi laboratorium alam terbuka: tempat belajar konservasi, bukan hanya selfie.
- Komunitas lokal bisa jadi penjaga sekaligus pemandu budaya, bukan sekadar penyedia jasa.
- Jika dikelola bijak, Tanggamus bisa menjadi ikon ekowisata Lampung bukan karena ketinggiannya, tapi karena kedewasaannya.
Gunung Tak Pernah Salah
Mendaki Gunung Tanggamus bukan sekadar soal kuat atau tidak. Ini soal memahami bahwa alam tidak pernah salah; manusialah yang sering terburu-buru ingin menang.
Jejak kaki di jalan setapak adalah catatan bahwa kita pernah hadir, tapi bukan berarti kita pemiliknya. Kabut di puncak mengingatkan bahwa keindahan tak selalu harus terlihat jelas. Kadang, yang terbaik justru datang dalam samar.
Gunung mengajarkan pelan-pelan: diam bisa lebih nyaring dari teriakan, dan lelah bisa lebih bermakna dari pencapaian.
Gunung Tanggamus bukan destinasi ia adalah perjalanan batin. Ia menguji kesabaran, menggoda ego, tapi pada akhirnya, mengajarkan rasa hormat.
Jadi, kalau suatu hari kau naik ke sana, jangan hanya bawa tenda dan logistik. Bawalah juga kesadaran. Karena di gunung ini, kau tidak sedang menaklukkan alam kau sedang belajar menaklukkan dirimu sendiri.













