JAKARTA – Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI membuka lembaran baru perayaan Tahun Baru Islam 1447 H dengan cara yang tak biasa.
Lewat “Ngaji Budaya” bertema Pesan Ekoteologi dalam Perspektif Kearifan Lokal Nusantara, para penyuluh agama, penghulu, dan ASN Kemenag disuguhi bukan hanya ceramah biasa, tapi juga wejangan penuh kearifan dan sentilan budaya dari seorang budayawan nyentrik sekaligus dai, Kiyai Sastro Al Ngatawi, alias Gus Sastro.
Acara yang digelar di Auditorium KH. M. Rasjidi, Kantor Kemenag Thamrin, Jakarta, Senin (23/6/2025), ini dibuka langsung oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar, di hadapan lebih dari 1.300 peserta.
Tapi jangan bayangkan isinya sekadar doa dan tausiyah normatif. Ini ngaji, tapi ada ‘bumbu rasa Nusantara’ lengkap dengan mitos pohon keramat dan debat klasik antara budaya dan agama.
“Budaya dan ibadah itu berbeda, tidak bisa dicampur. Budaya itu bid’ah,” ujar Gus Sastro, membuka paparannya dengan pernyataan yang bikin dahi peserta berkerut. Tapi sabar dulu, ini belum plot twist-nya.
Gus Sastro segera menjelaskan bahwa meski budaya bisa disebut bid’ah (inovasi), itu bukan berarti ia haram atau harus dijauhi.
Ia justru mengakui bahwa dakwahnya banyak memakai budaya termasuk musik tradisional untuk menyampaikan pesan Islam. Dan hasilnya? Banyak yang justru mendapat hidayah lewat tembang dan tabuhan.
“Kalau saya ceramah pakai rebana, kadang malah lebih didengar daripada khutbah panjang lebar,” celetuknya sambil tertawa kecil, disambut anggukan dari peserta yang tampaknya sering mengalami hal serupa.
Salah satu poin paling menarik adalah ketika Gus Sastro membahas tentang ekoteologi, alias hubungan spiritual manusia dengan lingkungan. Ia mencontohkan keyakinan lokal soal pohon keramat yang tak boleh ditebang.
“Mitos itu menciptakan ethos. Kalau orang percaya pohon angker, dia nggak bakal nebang sembarangan. Hasilnya, lingkungan jadi asri, udara bersih, dan setan pun mungkin jadi betah,” selorohnya, membuat audiens tergelak.
Gus Sastro mengajak agar umat beragama tidak buru-buru menertawakan atau menolak kearifan lokal. Justru dari mitos-mitos semacam itu bisa lahir kesadaran ekologis yang bernilai tinggi dalam Islam.
Dalam sesi penutup, Gus Sastro mengingatkan agar umat Islam tak mudah menghakimi perbedaan cara beragama. Ia menyarankan agar cukup percaya pada ulama yang diikuti, tanpa perlu mengkafirkan yang lain.
“Agama itu jangan dibawa galak. Tenang saja, Islam itu rahmatan lil alamin, bukan marah-marah lil status Facebook,” candanya, memancing tawa hadirin.***