Scroll untuk baca artikel
Opini

HAM: Idealisme Universal, Realitas Politik, dan Pergulatan Kedaulatan

×

HAM: Idealisme Universal, Realitas Politik, dan Pergulatan Kedaulatan

Sebarkan artikel ini
Abdul Rohman Sukardi
Abdul Rohman Sukardi

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

WAWAINEWS.ID – Hak Asasi Manusia (HAM) sering dibayangkan sebagai kompas moral umat manusia sebuah cita-cita luhur yang menegaskan bahwa setiap individu, di manapun ia berada, lahir dengan martabat yang tak boleh direndahkan.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Namun ketika memasuki gelanggang politik global, idealisme HAM acap kali berhadapan dengan dinamika kekuasaan, kepentingan geopolitik, serta realitas sosial-budaya yang tidak selalu mengikuti desain universal.

Fondasi normatif HAM modern dibangun melalui tiga pilar utama yang kemudian dikenal sebagai International Bill of Human Rights:

  1. Universal Declaration of Human Rights (UDHR), 1948
  2. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), 1966
  3. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), 1966

Kedua kovenan mulai berlaku pada tahun 1976 dan memberikan struktur legal bagi perlindungan martabat manusia. ICCPR memastikan kebebasan sipil-politik dari kebebasan berpendapat hingga larangan penyiksaan.

ICESCR menjamin hak atas kesejahteraan: pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan standar hidup layak. Bersama UDHR, keduanya mengukuhkan gagasan bahwa manusia tidak hanya membutuhkan kebebasan, tetapi juga akses untuk hidup bermartabat.

BACA JUGA :  Danantara Bisa Setara VOC ?

Namun, implementasi HAM dalam percaturan global tidak sesederhana teks normatifnya. Ada tiga persoalan besar yang kerap mengganggu kemurnian idealisme HAM;

1. Politisasi HAM: Ketika Moralitas Dipaksa Menjadi Senjata

Di banyak forum internasional, HAM sering diperlakukan bukan sebagai instrumen etik, melainkan sebagai alat delegitimasi politik. Tuduhan pelanggaran HAM dilayangkan tanpa mempertimbangkan:

  • ancaman terorisme dan ekstremisme,
  • konflik separatis,
  • ketegangan etnis bersejarah,
  • kapasitas negara dalam menjaga stabilitas,
  • kondisi objektif keamanan nasional.

Sebagian tuduhan kemudian berkembang menjadi stigma, bukan evaluasi berbasis fakta. Moralitas kemudian berubah menjadi retorika; HAM bergeser dari instrumen perlindungan menjadi alat penekan.

Padahal baik ICCPR maupun ICESCR memberikan ruang pembatasan yang sah demi ketertiban umum dan keamanan nasional. Bila aspek ini ditanggalkan, diskursus HAM terjebak dalam simplifikasi yang merusak semangat UDHR.

2. Hegemoni Global: HAM sebagai Instrumen Kuasa Negara Kuat

Dalam perspektif realisme hubungan internasional, negara selalu bergerak berdasarkan kepentingan strategis. Tidak mengherankan jika norma HAM yang secara teori bersifat universal kerap digunakan sebagai alat tekanan politik oleh negara kuat terhadap negara lemah.

Teori “critical IR” yang dikembangkan Richard Falk hingga Edward Said menyebut HAM global tidak sepenuhnya netral karena:

BACA JUGA :  Kontemplasi Tak Bertepi
  • dibentuk dalam konteks kemenangan blok Barat pasca-Perang Dunia II,
  • dikelola oleh institusi internasional yang dekat dengan kepentingan negara maju,
  • sering diterapkan secara selektif.

Kondisi ini terlihat dalam praktik:

  • sanksi ekonomi dibenarkan dengan dalih laporan pelanggaran HAM;
  • intervensi militer diberi nama “operasi kemanusiaan”;
  • negara tertentu diasingkan melalui isu HAM, sementara negara lain dengan kasus serupa luput dari sorotan.

Dalam logika geopolitik, HAM kadang menjadi alat hegemoni, bukan norma moral.

3. Ancaman terhadap Eksistensi Bangsa: Ketika Universalitas Menggerus Identitas

Negara-negara berkembang sering menilai bahwa standar HAM yang seragam mengabaikan:

  • nilai-nilai lokal,
  • harmoni sosial,
  • struktur komunal tradisional,
  • kebutuhan stabilitas nasional,
  • fase pembangunan ekonomi.

Perdebatan Asian Values (Malaysia–Singapura) misalnya, menekankan bahwa HAM versi Barat terlalu individualistik. Sementara masyarakat Asia mengutamakan keseimbangan sosial, kolektivitas, dan peran negara menjaga tatanan publik.

Dalam kerangka ICESCR, negara berkembang sering memprioritaskan hak kesejahteraan pangan, pendidikan, kesehatan ketimbang kebebasan sipil-politik. Namun tekanan internasional cenderung lebih keras pada isu ICCPR, menyebabkan ketidakseimbangan implementasi HAM.

Selain itu, HAM global memberi ruang bagi aktor non-negara untuk “menginternasionalisasi” konflik domestik. Dalam konteks tertentu, kondisi ini dapat membuka pintu fragmentasi politik yang melemahkan konsolidasi nasional.

BACA JUGA :  Satu Bulan Prabowo-Gibran

John Gray dan Michael Ignatieff mengingatkan bahwa moralitas universal yang tidak sensitif terhadap konteks dapat menyebabkan erosi kedaulatan, yakni menyempitnya ruang negara mempertahankan stabilitas dan identitasnya.

Mencari Jalan Tengah: Universalisme Martabat, Sensitivitas Konteks

HAM perlu kembali pada jati dirinya sebagai perangkat etis untuk melindungi manusia—bukan sebagai alat retorik atau instrumen hegemoni. Banyak sarjana menyarankan pendekatan “context-sensitive human rights”, yakni HAM yang:

  • tetap menjunjung universalitas martabat manusia,
  • selaras dengan pluralitas budaya dan tradisi,
  • sensitif terhadap dinamika keamanan dan politik nasional,
  • seimbang antara ICCPR dan ICESCR,
  • memberi ruang bagi negara untuk memenuhi kewajiban kesejahteraan tanpa tekanan geopolitik yang tidak proporsional.

Dengan pendekatan ini, HAM mampu hadir secara lebih adil: melindungi individu tanpa merusak fondasi sosial-budaya masyarakat, serta menjaga martabat manusia tanpa meruntuhkan kedaulatan negara.

Pada akhirnya, HAM hanya akan bermakna bila ia berdiri tegak dalam dua dunia sekaligus: dunia idealisme moral universal dan dunia realitas politik global yang tidak pernah steril dari kepentingan.

Jakarta, ARS — rohmanfth@gmail.com