Oleh: Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Publik reformasi menuding kepemimpinan Orde Baru sebagai kepemimpian otoriter. Presiden Soeharto pun dituding sebagai pemimpin otoriter.
Salah satu sebabnya adalah terlalu lamanya menjabat. Lebih 30 tahun. Enam kali pemilu.
Presiden Soeharto tidak bersalah. Ia menjabat berdasarkan landasan konstitusi. UUD 1945. Tapi tetap saja dituding otoriter.
UUD 1945 menyatakan presiden dipilih MPR hasil pemilu untuk masa jabatan lima tahun. Selebihnya bisa dipilih kembali. Tanpa ada batasan berapa kali bisa dipilih.
Presiden Soeharto terpilih secara terus menerus selama enam kali. Tanpa bisa dihentikan lawan-lawannya. Bahkan tidak ada keberanian memunculkan diri sebagai lawan.
Pada masa reformasi, ketentuan UUD 1945 itu diubah melalui amandemen. Presiden menjabat selama lima tahun. Bisa dipilih kembali untuk maksimal dua periode.
Salah satu justifikasi akademik tuntutan publik adalah teori Lord Acton. Ia seorang guru besar sejarah modern di universitas Cambrige, Inggris pada abad 19.
Ia dikenal dengan adagiumnya. “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”. Artinya: “kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut”.
Perlindungan dari ancaman kekuasaan absolut itulah yang diberikan oleh amandemen UUD 1945. Jangan sampai bangsa ini terjebak oleh kekuasaan absolut yang membuka ruang terjadinya korupsi secara absolut.
Selain memicu korupsi, kekuasaan absolut juga memerosotkan kemampuan sebuah bangsa mengelola dirinya sendiri. Ketika kepemimpinan publik didominasi segelintir orang dalam waktu lama.
Bangsa ini tidak terlatih melahirkan banyak kader-kader kepemimpinan. Bertumpu pada dominasi segelintir orang.
Kaderisasi kepemimpian bangsa menjadi macet. Kemampuan terbaik SDM bangsa dalam kepemimpinan tidak tereksplorasi dengan baik.
Sayangnya spirit amandemen pembatasan periode kepemimpinan bangsa itu tidak diterjemahkan secara konsisten hingga level bawah. Seharusnya tidak hanya presiden.
Semua terkait jabatan publik, dibatasi periode kepemimpinannya. Menjabat lima tahun untuk maksimal dua periode.
Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, Lurah dan Kepala Desa, pimpinan partai dan anggota legislatif. Sudah seharusnya mengikuti spirit amandemen pembatasan kepemimpinan itu.
Agar tidak membuka ruang terjadinya korupsi yang absolut. Agar pula terjadi kaderisasi kepemimpian bangsa di semua level.
Kenapa ketua partai harus ikut pembatasan?.
Ia merupakan pengendali kader-kader partai yang didistribusikan di anggota legislatif, maupun pemerintahan.
Ia akan memiliki kontribusi dalam penciptaan potensi korup secara absolut itu. Ia juga bagian dari kemacetan kepemimpinan bangsa jika tidak dibatasi masa jabatannya.
Anggota legislatif juga perlu dibatasi masa keanggotaannya. Selain menghindari korupsi dan kemacetan kaderisasi, agar lembaga legislatif memperoleh penyegaran ide dari hadirnya kader-kader baru. Bangsa tidak menjadi jumud, stag, dalam mengelola dirinya. Selalu segar dengan gagasan baru yang lebih maju.
Elemen-elemen kritis bangsa sudah harusnya mendorong perubahan strategis yang berdampak positif bagi kemajuan bangsa. Seperti civitas akademika maupun para mantan aktivis gerakan mahasiswa.
Bukan terjebak atau menenggelamkan diri sebagai team hore politik partisan belaka. Membuka kotak pandora otoritarianisme yang berusaha diperbaiki reformasi.
Bukankah begitu?
ARS (rohmanfth@gmail.com), Jaksel, 2 Maret 2024