Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi –
WAWAINEWS.ID – Sudah berminggu-minggu, polemik ijazah palsu Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), mencuat lagi. Sebelumnya sudah bertahun-tahun. Bahkan melalui proses hukum. Penudingnya tidak kunjung bisa memenangkan tudingan itu.
Kita bisa mencermati kasus itu dalam dua perspektif. Hukum dan politik.
Secara hukum, Joko Widodo memperoleh legitimasi UGM (Universitas Gajah Mada). Perguruan tinggi tempat ia kuliah. Ialah pihak yang berhak menyatakan kelulusan seseorang dan mengeluarkan ijazah. UGM menyatakan Jokowi pernah kuliah di UGM dan lulus.
Esensi ijazah adalah surat keterangan lulus. Kelengkapan administratif belaka dari status kelulusan. Hilang atau rusaknya ijazah, tidak bisa menggugurkan kelulusan itu. Selembar surat keterangan lulus bisa diganti kapan saja. Oleh yang berkewenangan mengeluarkan ijazah. Segala macam kejanggalan dan kecacatan atas selembar ijazah itu tidak bisa menggugurkan esensi keputusan kelulusan.
Pernyataan UGM atas kelulusan menggugurkan beban pembuktian pada diri Jokowi. Ia tidak bisa dipaksa membuktikan kepada siapapun. Bahwa ia punya ijazah bukti kelulusan. Ijasah ia tentu tidak palsu. Karena sudah dinyatakan lulus. Oleh UGM.
Tidak percaya ijazah Jokowi sama artinya tidak percaya UGM. Tidak percaya keputusan institusi yang memiliki legal standing menyatakan Jokowi lulus. Jalan keluarnya melalui proses pengadilan. UGM bisa digugat di pengadilan. Oleh pihak-pihak yang tidak percaya.
Itu secara hukum. Bagaimana secara politik?
Kita bisa mencermati dari dampak politis mencuatnya isu itu.
Pertama, pembunuhan karakter. Agar presiden ke-7 Jokowi tidak lagi mampu cawe-cawe politik. Ia memang sudah tidak lagi menjabat. Akan tetapi masih memiliki trust di kalangan masyarakat. Mampu menggerakkan massa politik. Melalui pembunuhan karakter itu kemampuannya cawe-cawe hendak dimatikan.
Permasalahannya bukankah selama ini isu ijazah sudah lama mencuat. Isu itu tidak mampu memutus trust jutaan rakyat itu kepadanya?. Soliditas pendukungnya justru semakin kuat. Semakin terkonsolidasi.
Kedua, sebagai efek jera. Agar pada masa yang akan datang tidak ada yang berani manipulasi dalam kontestasi politik. Narasi itu tentu bagi yang bisa dibuat percaya bahwa ijazah Presiden Ke-7 Jokowi itu memang palsu. Problemnya adalah adanya tembok pembuktian. Ijazah palsu itu masih duga-duga. UGM menyatakan ijazahnya asli. Belum ada pengadilan memutus ijazah Jokowi benar-benar palsu.
Ketiga, pengalihan isu. Kasus ijazah palsu itu menjadi trending berminggu-minggu. Bahkan tahunan. Mengalihkan concern publik pada kasus-kasus besar. Kasus Hasto, mantan Sekjen PDIP yang sedang disidangkan, menjadi tidak memperoleh pencermatan publik. Janji hendak membongkar kasus-kasus pejabat elit menjadi tidak nyaring lagi.
Tudingan ijazah palsu Jokowi juga mengalihkan perhatian atas potensi kesalahan rezim partai penguasa satu dekade terakhir. PDIP. Semua kesalahan dibebankan pada kasus ijazah palsu Jokwi. Kasus yang tidak kunjung bisa dibuktikan. Atau mungkin sudah diketahui memang tidak bisa dibuktikan. UGM sudah menyatakan Jokowi lulus dari PT itu.
Anehnya tudingan kuat atas ijazah palsu dilakukan oleh Team Pembela Ummat. Sekelompok gerakan yang dikenali sebagi pendukung die hard Anies Baswedan. Secara tidak langsung gerakan ini menutupi kesalahan PDIP selama 10 tahun terakhir. Bahkan kesalahan-kesalahan sejak reformasi. PDIP berhasil “nabok nyilih tangan”. Menampar Jokowi dengan meminjam kekuatan lain.
Keempat, pengendalian opini. Isu ijazah palsu hanyalah salah satu tema dalam pengendalian opini publik. Sebagai cara mempertahankan sebuah gerakan politik untuk terus berada dalam puncak pengendali inisiatif isu. Tentu dilakukan kelompok-kelompok oposisi.
Aidit, ketua Comite Central PKI memiliki doktrin serupa. “Siapa pegang inisiatif, ia akan memenangkan revolusi”. Dalam sepakbola dikenal sepakbola atraktif. Sebagaimana tipikal Barca club di bawah Pep Guardiola. Kelemahannya, banyak pergerakan juga berpotensi banyak kesalahan. Tidak mudah menghadapi team dengan pertahanan kuat dan serangan balik cepat.
Aidit kalah dalam revolusinya. Barca kalah oleh negative football-nya Mourinho. Timnas Indonesia Patrik Kluivert kalah oleh Australia. Walau menang dalam penguasaan bola.
Kelima, distrust kepemimpinan UGM. Ribut kembali soal ijazah merupakan kelanjutan konflik politik pasca pilpres. Menandingkan kandidat-kandidat alumni UGM. Anies Baswedan, Ganjar Pranowo. Keduanya bersatu melawan Jokowi yang mendukung Prabowo Subianto.
Gerakan pembuktian ijazah palsu Jokowi minggu-minggu ini juga dimotori alumni-alumni UGM. Dr. Tifa, Simon, Roy Suryo. Gerakannya menasional. Membelah rakyat sebagai pembela dan anti Jokowi.
UGM diberi anugerah kepercayaan rakyat memimpin Indonesia selama satu dekade. Presiden Jokowi alumni UGM. Dituding oleh faksi UGM yang lain sebagai kegagalan rezim. Rakyat diajak bertengkar membela pertengkaran faksi-faksi UGM. Bisa saja akan menimbulkan distrust. Rakyat tidak betah lagi diajak mengikuti pertengkaran kaum cerdik pandai. Alumni-alumni universitas ternama.
Di sisi lain, KDM (Gubernur Jabar) semakin menunjukkan keberpihakannya pada rakyat. Bukan hanya antitesa “politik pertengkaran” vs “politik keberpihakan pada rakyat”. KDM juga bisa menjadi simbol perlawanan terhadap alumni universitas-universitas elit di Indonesia. Dedi, juga Bahlil, bukan alumni universitas top. Akan tetapi mampu bergerak nyata memperjuangkan rakyat.
Dari kelima kemungkinan dampak isu ijasah palsu, kira-kira apa motif gerakan itu?. Kita bisa mengkalkulasinya sendiri-sendiri bukan?.
• ARS – Jakarta (rohmanfth@gmail.com)