Oleh: Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Urgensi IKN dicuatkan kembali oleh sejumlah pihak. Media menurunkan wacana keengganan anggota legislatif pindah kerja di Ibu Kota Baru. Mereka menyusun UU. Mereka pula hendak mengingkari.
Kenapa?
Pertama, IKN dinilai tidak akan mampu mendongkrak pemerataan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ia hanya mendorong pertumbuhan ekonomi Kalimantan. Tidak untuk semua wilayah.
Perencana IKN, tentu menyadari. Indonesia bukanlah benua, atau anak benua. Sebagian besar wilayah berupa daratan luas.
Pada kasus daratan luas, pusat pertumbuhan diletakkan pada titik tengah, dengan sendiri mendongrak wilayah lainnya. Dibangun rel kereta api dari Ibu kota ke semua ujung wilayah. Dengan sendirinya akan memeratakan pertumbuhan ekonomi.
Indonesia merupakan archipelgic state (negara kepulauan). Terdiri beberapa pulau besar, pulau sedang dan ribuan pulau kecil. Harus dibangun dan disediakan 4 moda transportasi sekaligus. Kereta Api, Transportasi darat, laut dan udara.
Ketika pendulum pertumbuhan ditarik dari Jakarta ke IKN, belum tentu dengan serta merta mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah lain.
Kedua, momentumnya telah berubah. Realisasi ibukota baru merupakan rentetan panjang. Isu perlunya Ibu Kota baru sudah ada sejak Presiden Soekarno. Palangkaraya destinasinya.
Pada era Presiden Soeharto, Ibukota baru direncanakan di Jonggol, Bogor. Satu area tidak jauh dari Jakarta, akan tetapi memiliki space leluasa untuk dibangun infrastruktur. Pada era Presiden SBY, destinasi Ibukota baru, masih diambangkan. Baru pada era Presiden Jokowi, ibukota baru ditetapkan dan direncanakan serius. IKN.
Realisasi IKN beriringan dengan kemajuan era digital. Virtual office berdiri di mana-mana. Pekerjaan tidak harus diselesaikan di satu gedung kantor. Bisa di remote dari semua tempat di belahan bumi manapun. Asal ada sinyal satelit untuk jaringan internet.
Pandemi Covid juga mengajarkan Work From Home (WFH). Tidak harus dari kantor.
Keberadaan sebuah kantor fisik berupa gedung-gedung bukan lagi kebutuhan mendesak. Pekerjaan bisa diremote dari sebuah tenda sekalipun.
Jadi apa urgensi IKN?. Pada situasi yang demikian itu.
Jika dilacak secara cermat, IKN merupakan produk ilusi anti Jawa sentris. Keberhasilan membangun radikalisasi atau kemarahan rakyat atas sosok Presiden Soeharto sebagai musuh bersama dilekati isu anti Jawa.
Presiden Soeharto merupakan figur pemimpin kuat, begitu lama berkuasa, lekat dengan budaya Jawa. Ia digambarkan sejumlah pihak sebagai penguasa otoriter Jawa.
Penumbangan terhadapnya pada tahun 1998 diiringi isu anti Jawa Sentris. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) maupun Free West Papua (Papua Merdeka) juga membangun narasi pembebasan dirinya dari penjajahan Jawa. Ada istilah “dominasi rambut lurus” di Papua.